Dalam kurun waktu tiga
bulan terakhir ini di wilayah Kota dan Kabupaten Jayapura seringkali dilanda
peristiwa banjir dan tanah longsor, bahkan dari sekian peristiwa yang terjadi
secara beruntun ini telah menelan sejumlah korban jiwa dan merusak harta benda.
Peristiwa yang berujung
dengan kesedihan dan kerugian, itu seringkali disebut dengan bencana, malapetaka
atau musibah. Datangnya bencana seringkali tidak bisa diprediksi oleh manusia,
tapi kabar baiknya manusia bisa membuat sebuah rencana dan langkah-langkah antisipatif, baik itu bersifat teknis maupun non teknis untuk menghindari atau
bahkan meminimalisir dampak negatif (destruktif) dari bencana yang akan terjadi
sewaktu-waktu.
Dari sekian langkah-langkah
antisipatif terhadap bencana salah satunya adalah melalui penataan ruang.
Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan dari penataan ruang adalah
dalam rangka pemanfaatan ruang yang bersifat aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan. Sifat aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan adalah arti
utama dari ruang dan tata lingkungan yang berkualitas.
Nah, apa korelasi antara
penataan ruang dengan penanganan bencana dalam konteks langkah antisipatif sejak dini ?
Dalam perencanaan tata ruang dilakukan zonasi kawasan, mana kawasan lindung dan
mana kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencangkup sumber
daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan kawasan budidaya adalah wilayah
yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Kita fokus pada kawasan
lindung. Kawasan lindung itu diatur lebih spesifik dalam Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
Dalam pasal 3, kawasan lindung dibagi menjadi empat kawasan yaitu, kawasan yang
memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat,
kawasan suaka alam dan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam.
Misalnya kawasan yang
memberikan perlindungan kawasan bawahannya yaitu, kawasan hutan lindung,
kawasan hutan bergambut, kawasan resapan air. Prinsip sebap akibat berbicara
disini, kita membangun di areal perbukitan yang merupakan daerah resapan air, otomatis
ketika curah hujan tinggi akan terjadi banjir di daerah rendah yang merupakan
daerah pengaliran. Artinya, apa yang kita lakukan diatas mempengaruhi kawasan
di bawahnya. Ibarat kawula muda yang berpacaran secara tidak sehat dan lewat
batas, sehingga si wanita kena mag di
perut ( ada maghkluk/makhluk hidup di perut). Itu penulis bercanda saja.....!
Contoh kasus : “Disinyalir tidak memiliki Izin Mendirikan
Bangunan (IMB), aktivitas pembangunan perumahan Organda di areal kawasan
perbukitan atau peresapan air di Kelurahan Hedam, Distrik Heram, terancam
dihentikan. Selain tidak memiliki IMB, aktivitas pembangunan di daerah
perbukitan yang merupakan daerah resapan air tersebut juga dituding sebagai
penyebap/pemicu terjadinya musibah banjir di kawasan tersebut. “
(Cenderawasih Pos, Jumat 15 Maret 2013).
Kawasan perbukitan
Organda itu masuk dalam daerah resapan air (kawasan lindung). Apa itu kawasan
resapan air ? Kawasan resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi
untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi
(akifer) yang berguna sebagai sumber air. Bangunan perumahan di Organda yang dibangun developer, itu harus
ditertibkan dan jelas dibangun diatas kawasan yang telah ditetapkan sebagai
fungsi lindung karena berfungsi sebagai daerah resapan air. Tindakan penertiban
itu sebuah langkah antisipatif (non teknis) untuk menghindari bencana banjir di
masa depan. Sedangkan rencana pembangunan waduk buatan di sekitar kolam
kangkung (belakang perumahan dosen Uncen), untuk menampung kelebihan air akibat run off yang debitnya besar itu merupakan
perencanaan teknis untuk menangani banjir.
Dalam Pasal 32 UU No 32
Tahun 1990 disebukan bahwa “Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam
dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebapkan
oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia”. Selanjutnya
pada pasal 33 disebutkan bahwa, “Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah
kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam
seperti letusan gunung berapi, gempa bumi dan tanah longsor.”
Dari dua pasal diatas
jelas ditegaskan bahwa dilarang membagun di kawasan rawan bencana, seperti di
daerah yang tanahnya punya potensi mengalami longsor, ambles,dll. Peta daerah
rawan bencana longsor maupun banjir di Kota maupun Kabupaten Jayapura itu perlu
dibuat, sehingga dapat menjadi acuan bagi warga untuk membangun dan dapat
menjadi acuan dalam menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kendala utama
dalam mensterilkan kawasan rawan bencana di Kota Jayapura adalah keterbatasan
lahan, karena sekitar 40% lahan di kota ini merupakan perbukitan, sehingga
banyak warga yang membangun rumah di kawasan yang kelerengannya dapat mencapai
10-40%. Daerah-daerah ini sangat rawan longsor, sehingga sewaktu-waktu bencana
tanah longsor sangat potensial terjadi dan menelan korban jiwa.
Contoh kasus lainnya meluapnya
Danau Sentani yang mengakibatkan rumah warga di pesisir danau terendam air. Ini
berarti ketika curah hujan tinggi, kemungkinan air hujan dengan jumlah yang
besar mengalir di permukaan (run off), dan sedikit yang mengalami
infiltrasi dan perkolasi ke dalam tanah, sehingga perlu dilakukan pendugaan
limpasan dari daerah tangkapan, besarnya berapa ? Mengapa run off-nya besar ?
Ada masalah apa di daerah tangkapan (cycloop) sehingga air hujan yang run off debitnya besar ? Ada masalah apa di kawasan
rawa sagu yang berfungsi sebagai daerah resapan air ? Ada masalah apa di
Jaifury sebagai pintu keluar air dari danau menuju laut ? Berapa debit air banjir sungai-sungai yang berhulu di Cycloop dan bermuara di Danau Sentani ? Kelebihan air ketika
curah hujan tinggi mau di tampung dimana atau di alirkan kemana ? Perencanaan
non teknis seperti apa ? Perencanaan teknis seperti apa dalam menanggani limpasan
air yang besar ?
Ini harus menjadi
perhatian pemerintah dan stakeholder lainnya dan juga masyarakat luas. Regulasi
yang dibuat pemerintah sudah jelas dan sudah dibuat zonasi kawasan, ini kawasan
lindung dan itu budidaya. Kawasan lindung tidak boleh dirambah, tapi tetap saja
dirambah dengan seribu macam tujuan dan kalau ditertibkan ujung-ujungnya ribut
dengan seribu macam alasan yang bersifat argumentatif.
Aturan sudah jelas, tapi kalau
mengatur satu atau dua orang itu mudah saja, akan susah kalau mengatur ribuan
bahkan puluhan ribu orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang
berbeda-beda. Intinya semua kembali kepada kesadaran setiap individu untuk
tidak merambah serta melakukan tindakan apapun yang bersifat destruktif di
kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, jika tidak kita akan
menuai bencana di masa depan. Kenyataan seperti yang telah terjadi di kota dan
kabupaten Jayapura dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, yakni bencana banjir
dan tanah longsor. (*)
Sumber :
-
UU Republik Indonesia Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang
-
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
-
“Disinyalir Tak Miliki IMB,
Pembangunan Perumahan Organda terancam Dihentikan”, Cenderawasih Pos, Jumat 15
Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar