Label

Rabu, 26 Maret 2014

Cara Menghitung Luas Areal Pada Peta dengan Cara Sederhana

ketika mengerjakan tugas-tugas sering kita berhadapan dengan perhitungan luas areal. Salah satu alternatif menghitung luas areal suatu wilayah tanpa harus ke lapangan adalah dengan bantuan peta. Sebelum melakukan perhitungan itu biasanya kita menandai titik-titik pada areal di peta yang menjadi konsentrasi tugas kita, kemudian menghubungkan titik-titik menjadi poligon tertutup dan kenampakan yang terbentuk menyerupai geometri tertentu. Jika bentuk kenampakan berupa geometri sederhana seperti bujur sangkar, empat persegi panjang, segitiga, trapesium, dan lingkaran, tentu kita sudah mengetahui rumus-rumus untuk menghitung luas bentuk geometri tersebut sehingga mudah dalam melakukan perhitungan luas areal. Tapi tidak selamanya areal pada peta yang mau dihitung luasnya berupa geometri yang sederhana (teratur) dan jika itu terjadi kemungkinan perhitungan akan sedikit rumit. Nah berikut ini akan diberikan penjelasan tentang metode sederhana yang digunakan untuk menghitung luas kenampakan (areal) pada peta :

1. Metode grid bujur sangkar
Cara perhitungan luas dengan cara grid bujur sangkar menggunakan ketentuan sebagai berikut, kotak yang penuh (kotak yang ada dalam area yang akan dihitung luasnya ditentukan sebagai satu unit nilai, sedangkan kotak yang tidak penuh ditentukan sebagai 1/2 (setengah) nilai unit. Misalnya, kotak berukuran 0,5 cm x 0,5 cm, dengan skala 1: 60.000. Untuk itu nilai satu unit adalah :
   Nilai unit      = 0,5 cm X 0,5 cm X 60.000 X 60.000
            = 300 m X 300 m
                        = 90000 m2
                        = 9 ha

Luas area = (W + P/2) nilai unit

W = kotak penuh dalam area
P = kotak yang sebagian dalam area

Misalnya area yang akan dihitung pada gambar di bawah ini memiliki skala 1: 60.000



Luas area  = (50 + 35/2) X 9 ha
    = 607,5 ha

2. Metode koordinat kartesian
Cara perhitungan luas dengan metode koordinat kartesian menggunakan ketentuan sebagai berikut : 
a        Diusahakan titik awal (0,0) merupakan titik perpotongan antara garis lurus paling barat/kiri kenampakan (sumbu y) dan garis paling selatan/kenampakan sumbu x
b        Titik A,B,C,D dan E merupakan titik-titik yang paling mewakili kenampakan dan ditentukan koordinatnya

c.  Hasil perhitungan adalah sebagai berikut :


3. Metode membagi menjadi geometri sederhana
Untuk menghitung luas kenampakan pada peta menggunakan metode geomterik, yang harus dilakukan sebelum menghitung adalah bagi-bagilah kenampakan yang terbentuk menjadi geometri sederhana, kemudian hitunglah luas masing-masing geometri, dan hasilnya dijumlahkan (jumlah total). Tidak ada aturan baku dalam melakukan pembagian, semua tergantung kebijakan kita sendiri, mana yang lebih cepat dan akurat itulah yang kita lakukan.
·         Sebagai contoh kalian bisa lihat pada kenampakan areal A,B,C,D,E di bawah ini. Untuk menghitung perlu memakai garis kotak-kotak berukuran 0,5 cm x 0,5 cm. Secara vertikal 2 kotak = 1 cm dan horizontal juga demikian. Setiap 1 cm mewakili 10 m.


Dari pembagian yang dilakukan menghasilkan lima buah segitiga dan 2 buah persegi, dimana luas segitiga adalah 1/2  alas x tinggi dan luas persegi adalah panjang x lebar. Adapun perhitungan luasnya sebagai berikut :
Luas BCI = 1/2 (25) (15) = 187,5 m2
Luas BKI = 1/2 (15) (5) = 37,5 m2
Luas AHI = 1/2 (13)(12,5) = 218,75 m2
Luas DEF = 1/2 (17)(35) = 297,5 m2
Luas AEH = 1/2 (100) (40) = 2000 m2
Luas CDFG =  70 (35) = 2450 m2
Luas GIKL = 25 (20) = 500 m2
Luas Total = 5691,25 m2

·         Contoh lainnya adalah sebuah hasil pengukuran areal di lapangan dan sketsa terlampir di bawah ini :
Titik
Azimuth/Arah (0)
Jarak (m)
Dari
Ke
A
B
90
130
B
C
30
100
C
D
270
195
D
A
180
100


Setelah melihat sketsa dan hasil pengukuran, kemudian digambarkan dengan peta skala 1: 1000.  Dari peta yang sudah digambar ada beberapa opsi pembagian yang bisa dilakukan untuk perhitungan luas, yakni membagi menjadi 3 buah segitiga dan opsi lainnya adalah membagi menjadi 1 buah persegi serta 1 buah segitiga untuk kemudian dihitung luas arealnya.

Opsi pembagian pertama :

Membagi menjadi tiga buah segitiga dan perhitungannya sebagai berikut :
Luas Segitiga ABD = 1/2 (130) x (100) = 6500 m2
Luas Segitiga BDE = 1/2 (100) (130) = 6500 m2
Luas Segitiga BCE = 1/2 (65) (100) = 3250 m2
Luas Total = 16250 m2

Opsi pembagian kedua :

Membagi menjadi satu buah persegi dan satu buah segitiga
Luas persegi ABED = 100 x 130 = 13000 m2
Luas Segitiga BCE = 1/2 (65) (100) = 3250 m2
Luas Total = 16250 m2
Nah, seperti itulah kira-kira pembahasan mengenai perhitungan luas areal pada peta dengan cara sederhana. Semoga Bermanfaat. (*)


Senin, 10 Maret 2014

Bentuklahan Hasil Kegiatan Erosi dan Sedimentasi

Jika proses erosi lebih cepat dari pada proses pembentukan tanah maka terjadi ketidakseimbangan pada suatu lahan.”

Erosi dan sedimentasi yang terjadi di muka bumi ini mempunyai peranan dalam pembentukan lahan (landscape), baik itu erosi yang diaktori oleh air maupun angin. Bentuklahan yang ada saat ini terbentuk melalui proses erosi dan sedimentasi yang terjadi puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.
Nah, bentuklahan apa saja kah yang terbentuk oleh karena campur tangan kegiatan erosi dan sedimentasi ? Simak penjelasan di bawah ini ;

1. Bentuk lahan denudasional
Bentuklahan ini merupakan hasil kegiatan erosi air permukaan dan sungai yang menyayat atau menoreh permukaan bumi serta gerakan massa sehingga terbentuk topografi berlereng landai hingga terjal berupa daerah berelief pegunungan hingga hampir rata (peneplain) dengan bentuk dan ukuran yang pada umumnya tidak seragam dan tidak teratur.

2. Bentuklahan fluvial
Bentuklahan fluvial adalah bentuklahan yang merupakan hasil kegiatan erosi dan sedimentasi sungai. Bentuklahan ini berlereng sedang hingga datar. Beberapa contoh bentuklahan ini antara lain tubuh sungai dan danau, dataran banjir, tanggul sungai, zone point bar, backswamps, teras fluvial, kipas aluvial dan delta.


Sketsa dataran banjir (flood plain). Dataran banjir merupakan contoh bentuklahan fluvial. Dataran banjir adalah lembah di sisi-sisi sungai yang mungkin terendam ketika banjir (air tinggi). Dataran banjir terutama terbentuk dari hasil endapan sedimen di alur sungai dan pengendapan sedimen halus  pada daerah genangan waktu banjir

3. Bentuklahan aeolian
Bentuklahan aeolian terbentuk oleh proses erosi dan sedimentasi oleh angin. Beberapa contoh bentuk lahan ini ini antara lain daerah bukit pasir jenuh (saturated dune fields), daerah bukit pasir tidak jenuh (non saturated dune fields) dengan bentuk bervariasi seperti barchan, parabolik, longitudinal dan transversal, kompleks bukit pasir terisolasi, lembaran pasir (sand sheet) dengan topografi hampir datar hingga bergelombang rendah berupa kubah-kubah dan depres-depresi dangkal, reg (gurun pasir), serir (gurun kerikil). Erosi yang diaktori angin ini yang tidak dibahas di pembahasan sebelumnya mengenai bentuk-bentuk erosi, karena skala erosi oleh angin di Indonesia tidak begitu besar, hanya sebagian kecil di daerah pesisir pantai dan dampak negatif yang timbul akibat erosi oleh angin tidak terlalu signifikan. Erosi oleh angin terjadi dalam skala yang begitu besar di daerah arid atau semi arid seperti di daerah gurun atau padang pasir, misalnya di gurun Sahara atau kawasan jazirah Arab yang dominan berupa padang pasir 

Hasil kegiatan erosi sebenarnya tidak semata pada tiga bentuklahan yang sudah dijelaskan diatas namun juga pada bentuklahan lainnya, tapi pengaruhnya tidak begitu dominan, misalnya pada bentuk lahan struktural denudasional dan bentuk lahan vulkanik (denudasional). Pada bentuk lahan struktural denudasional kontrol struktul geologi, seperti lipatan kekar, sesar, dll, lebih menonjol dibandingkan proses denudasi (erosi, sedimentasi, pelapukan batuan). Sedangkan pada bentuklahan vulkanik (denudasional) ada proses denudasi, tapi kontrol vulkanismenya lebih menonjol. Contohnya di gunung api pasti terjadi erosi dan pelapukan batuan, gerakan massa,dll, yang berperan dalam bentukanlahan di kawasan gunung api, tapi kontrol vulkanisme lebih menonjol. Jika terjadi aliran lahar, otomatis terjadi erosi yang berujung pada pengendapan material, tapi aktor utamanya kontrol vulkanisme ((lahar yang dimuntahkan)
Bentuklahan yang terbentuk karena hasil proses erosi termasuk dalam bentuk lahan destruksional, yaitu bentuk lahan hasil proses geologi yang bersifat merusak. Erosi alam (geologi), prosesnya masih diimbangi oleh proses pembentukan tanah. Apabila erosi yang karena campur tangan manusia seperti penggunaan lahan (land use) yang tidak bijak, maka umumnya proses erosi tersebut lebih cepat dari pada proses pembentukan tanah, sehingga sering disebut dengan erosi yang dipercepat. Jika proses erosi lebih cepat dari pada proses pembentukan tanah maka terjadi ketidakseimbangan pada suatu lahan.
Erosi yang terjadi sangat cepat karena aktivitas manusia harus dikendalikan agar tidak berlangsung dengan cepat melalui upaya-upaya konservasi tanah dan upaya penggunaan lahan (land use) yang bijak, guna menghindari terjadinya degradasi pada suatu lahan. (*)

Sumber :
  • Diktat Mata Kualiah Geologi Fisik
  • Linsler JR, Dkk., Hidrologi Untuk Insinyur, Erlangga, Jakarta, 1996



Jumat, 07 Maret 2014

Persamaan dalam Pendugaan Sedimen dari Suatu DAS

Tidak ada satu persamaan yang bisa diaplikasikan untuk semua kondisi, sehingga perlu dipilih persamaan yang spesifik dan sesuai dengan lokasi yang akan diteliti.”



Perhitungan yang lengkap terhadap muatan total sedimen maupun transpor sedimen dengan memasukan sejumlah faktor penyebap sukar dilakukan, sehingga perlu dilakukan pendugaan-pendugaan (asumsi). Tentu pendugaan tersebut bukan sebuah asumsi belaka, tapi berpijak pada persamaan-persamaan yang merupakan representasi dari beberapa variabel yang mempengaruhi jumlah sedimen yang dihasilkan dari suatu DAS.
Transpor sedimen di sungai-sungai itu bergantung pada banyak variabel yang saling berhubungan. Tidak ada satu persamaan yang bisa diaplikasikan untuk semua kondisi, sehingga perlu dipilih persamaan yang spesifik dan sesuai dengan lokasi yang akan diobservasi dan faktor ketersediaan data perlu juga dipertimbangkan. Simons dan Senturk 1992 dalam Kodoatie dan Sjarief 2008, berdasarkan pengalaman laboratorium dan lapangan yang luas, menyajikan rekomendasi yang harus dipertimbangkan dalam analisis transpor sedimen. Beberapa rekomendasinya meliputi :
1        Selidiki persamaan transpor sedimen yang tersedia dan tentukan yang paling baik untuk suatu sistem sungai yang spesifik.
2        Hitung laju sedimen dengan persamaa-persamaan tersebut dan hasilnya dibandingkan data pengukuran di lapangan.
3        Pilih persamaan yang hasilnya paling mendekati dengan observasi lapangan dan bila tersedia data yang cukup, perbaiki persamaan tersebut supaya bisa spesifik pada lokasi yang diobservasi.

A. Muatan Sedimen Total

Muatan sedimen total dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (Julien, 1995 dalam Kodoatie & Sjarief, 2008) :
1        Berdasarkan tipe gerakan: LT = Lb + Ls
2        Berdasarkan metode pengukuran: LT = Lm + Lu
3        Berdasarkan sumber sedimen: LT = Lw + Lbm
Dimana :
LT  = muatan total
Lb = muatan dasar (bed load) yang didefenisikan sebagai transportasi dari partikel-partikel sedimen yang berdekatan atau tetap melakukan kontak dengan dasar sedimen.
Ls =  muatan melayang (suspended load) didefenisikan sebagai transpor sedimen melayang yang melalui sebuah potongan sungai di atas lapisan dasar.
Lm = sedimen terukur (measured sediment)
Lu = sedimen tidak terukur (unmeasured sediment) yaitu jumlah dari muatan dasar dan fraksi (bagian) dari muatan melayang di bawah elevasi pengambilan sampel terendah.
Lw = muatan terhanyutkan (wash load) yang merupakan partikel-partikel halus (fine particles) tidak ditemukan dalam material dasar.
Lbm = kapasitas terbatas dari muatan material dasar.

B. Pendungaan Besar Sedimen dengan Pendekatan SDR

Pendugaan besar sedimen dengan Pendekatan Nisbah Pelepasan Sedimen (SDR) atau Sediment Delivery Ratio. SDR adalah perbandingan antara sedimen yang dihasilkan dengan erosi lahan, dengan kata lain bahwa tanah yang tererosi tidak semuanya masuk ke sungai dan menjadi angkutan sedimen. Weischmeier dan Smith (1965):


S          = Kemiringan lereng (%)
A          = Luas DAS
n          = Koefisien kekasaran manning
α          = 0,8683216132
B          = -0,218621338

C. Pendugaan Laju Sedimentasi Potensial

Sedimentasi potensial adalah proses pengangkutan sedimen hasil dari proses erosi potensial untuk diendapkan di jaringan irigasi dan lahan persawahan atau tempat-tempat tertentu.
Pendugaan laju sedimen potensial yang terjadi di suatu DAS dihitung dengan persamaan Weischmeier dan Smith, 1958 sebagai berikut :

        
          S-pot  =  E-Akt  x  SDR


dimana :
SDR   =  Sedimen Delivery Ratio
S-pot  =  Sedimentasi potensial
E-Akt  =  Erosi aktual

Contoh kasus: aktivitas pendulangan emas secara tradisional di Perbukitan Polimak IV Jayapura. Tanah sisa hasil pendulangan (ampas) yang dibuang ke saluran dapat meningkatkan jumlah transpor sedimen dan akan berdampak pada mendangkalnya saluran serta turunnya kualitas air (keruh).

Kenyataan di lapangan sangat jarang ditemukan suatu sungai tanpa gangguan, baik itu gangguan berupa sedimentasi, sampah maupun gangguan yang timbul karena aktivitas manusia yang dapat mengganggu fungsi sungai. Oleh karena itu perlu diciptakan suatu kondisi yang seimbang dengan tidak melakukan tindakan atau aktivitas yang dapat mengganggu fungsi sungai dan lingkungan DAS pada umumnya. (*)

Sumber Pustaka :
Kodoatie & Sjarief., Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Andi, Yogyakarta, 2008
Linsler JR, Dkk., Hidrologi Untuk Insinyur, Erlangga, Jakarta, 1996

Sumber Gambar :
Dokumentasi Penulis, 2012


Minggu, 02 Maret 2014

Penentuan Tingkat Erosi Berdasarkan Faktor Kerusakan Tanah

Apabila suatu studi tentang erosi tujuannya hanya berupa identifikasi, ya okelah penentuan tingkat erosi berdasarkan faktor kerusakan tanah dipakai.


PENENTUAN tingkat erosi selain dengan melihat faktor jumlah kehilangan tanah, bisa juga dilakukan dengan melihat faktor kerusakan tanah (situasional). Menentukan tingkat erosi berdasarkan kerusakan tanah sedikit lebih mudah dibandingkan dengan melihat jumlah kehilangan tanah, karena cara penentuannya berdasarkan pada bentuk atau kenampakan kerusakan tanah yang terlihat di lapangan (fakta lapangan).
Tingkat erosi dengan melihat faktor kerusakan tanah  dibagi kedalam lima tingkatan yaitu :
a.      Erosi sangat kecil. Setempat – setempat terdapat endapan yang mungkin tersangkut pada akar pohon, rerumputan dan lekuk permukaan tanah dan batuan, lapisannya sangat tipis, erosi ini terjadi di sejumlah lahan.
b.      Erosi kecil. Tumpukan material kikisan yang tipis sudah mulai merata, nampak adanya kesan pengikisan pada permukaan tanah atau batuan.
c.       Erosi sedang. Pada lekuk tertentu, ditemukan tumpukan material kikisan yang cukup banyak, tampak adanya gejala pembongkaran tanah atau batuan.
d.      Erosi berat. Terjadi pengelupasan lapisan tanah secara besar-besaran, baik lapuk, mulai lapuk, atau yang segar kadang akar pepohonan ikut terbongkar.
e.      Erosi sangat berat. Pembongkaran tanah atau batuan mulai merata, pepohonan sering ikut terbongkar dan biasa juga diikuti dengan longsoran pada lereng yang relatif curam, pengikisan dapat terjadi hingga batuan dasar yang segar. Pengaruhnya pada aliran sungai yaitu terjadinya sedimentasi atau muatan sedimen yang besar, air menjadi keruh dan berlumpur.


              Sumber : Dokumentasi Penulis dalam Laporan KP, 2011

 Erosi parit di kawasan Perbukitan Skyland dengan kedalaman ± 40 cm yang bisa dikategorikan kedalam erosi berat

Penentuan tingkat erosi berdasarkan faktor kerusakan tanah ini bisa dilakukan dengan mengamati keadaan di lapangan. Apabila suatu studi tentang erosi tujuannya hanya berupa identifikasi, ya okelah penentuan tingkat erosi berdasarkan faktor kerusakan tanah ini dipakai.
Sedangkan studi tentang pendugaan erosi yang dilakukan secara komprehensif dan mendalam tidak bisa hanya dengan mengamati fenomena kerusakan tanah, tapi harus didukung dengan kegiatan olah data primer maupun  sekunder, seperti menganalisa data curah hujan, peta topografi, peta geologi, peta tanah, peta penggunaan lahan, data-data tentang sampel tanah yang telah diuji laboratorium serta data-data lain yang ada relevansinya dengan objek yang diteliti. (*)

Sumber Pustaka :
Arsyad Sitanala., Konservasi Tanah & Air, IPB Press, Bogor, 1989