Label

Sabtu, 30 November 2013

Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Kuantitas Resapan

Salah satu permasalahan yang sering terjadi ketika banjir adalah banyak genangan air yang dibarengi dengan lamanya durasi waktu yang dibutuhkan agar genangan tersebut surut. Hal ini terjadi karena kuantitas resapan menjadi kecil akibat diatas tanah yang dulunya bisa meresap air, kini berubah menjadi bangunan permanen yang kedap air. Bukan hanya itu saja, jenis tanah juga turut mempengaruhi kuantitas resapan air kedalam tanah.

Lempung (clay) kuantitas resapannya sangat kecil, karena memiliki konduktivitas hidraulik sangat kecil berkisar antara 1/1.000.000.000.000 m/detik (10-12 sampai 10-9 m/detik)

Kecepatan air yang meresap ke dalam tanah tergantung dari jenis tanahnya. Bila jenis tanahnya lempung yang pori-porinya rapat tentu kuantitas resapannya kecil, dibandingkan dengan pasir yang berbutir halus serta tidak terkonsolidasi dengan rapat. Kuantitas suatu jenis tanah tergantung dari konduktivitas hidaruliknya. Untuk jenis tanah lempung (clay), kecepatan aliran (konduktivitas hidraulik) sangat kecil berkisar antara 1/1.000.000.000.000 m/detik (10-12 sampai 10-9 m/detik), sedangkan bila jenis tanah lanau (silt) maka kecepatan aliran berkisar antara 1/100.000.000 – 1/10.000 m/detik (10-8 sampai 10-4 m/detik). Bila jenisnya pasir maka kecepatan aliran berkisar antara 1/100.000 – 1/100 m/detik (10-5 sampai 10-2 m/detik). Untuk mengetahui kecepatan aliran suatu jenis tanah (sampel tanah) dan kemampuannya menyerap maupun memindahkan air, biasanya digunakan alat sederhana yang namanya Tensiometer dan alat ini sering terdapat di laboratorium tanah atau balai pengujian.
Untuk mengurangi genangan di permukaan tanah, metode teknis yang lazim digunakan yakni membuat sumur resapan guna mempercepat air meresap ke dalam tanah. Mengenai pergerakan air kedalam tanah dan persamaan-persamaan yang mendasarinya, sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya mengenai pergerakan air tanah (bisa dibaca disini).

Sumber Pustaka :
           -   
  • Kondoatie RJ & Sjarief Roestam.,2008, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit ANDI, Yogyakarta
  • Linsley JR. RK., et. all., 1982, Hidrologi untuk Insinyur, McGraw-Hill, Inc./ Ir. Yandy Hermawan (alih bahasa)/Penerbit Aerlangga, 1996.




Jumat, 29 November 2013

Peranan Tumbuh-tumbuhan dalam Mengurangi dan Menghambat Laju Limpasan Permukaan

Salah satu faktor dari sekian faktor penyebap terjadinya banjir di daerah hilir DAS adalah maraknya aktivitas penebangan pohon yang tak terkendali dalam kawasan hutan di hulu DAS. Hal ini sangat disayangkan karena pepohonan yang tumbuh dalam suatu kawasan hutan sangat berperan dalam mengurangi dan menghambat laju limpasan permukaan, sehingga ancaman erosi, tanah longsor, banjir serta sedimentasi yang berdampak pada pendangkalan sungai bisa diminimalisir.
Tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dalam suatu kawasan hutan yang tidak terganggu sangat berperan dalam mengurangi dan menghambat laju limpasan permukaan, sehingga dampak negatif yang timbul akibat besarnya jumlah dan kecepatan limpasan permukaan dapat dicegah ataupun diminimalisir sifat destruktifnya.
Hujan yang turun diatas kawasan ekosistem hutan sampainya ke permukaan tanah akan ditahan dan dihambat oleh daun-daunan dan ranting-ranting pohon yang tinggi di kawasan itu sehingga permukaan tanah akan terlindung dari timpaan-timpaan titik-titik hujan yang berdaya tumbuk (energi kinetik) berat. Air hujan yang tertahan oleh daun-daun dan ranting-ranting tersebut sampainya ke permukaan tanah kebanyakan mengalir ke bawah mengikuti batang-batang pohon sehingga daya tumbuknya dapat dikatakan relatif sangat lemah.
Sedangkan tanaman-tanaman rendah, seperti semak belukar dan rumput-rumputan dibawah pohon-pohon yang tinggi itu yang menutupi permukaan tanah, maka air tak berdaya menghancurkan agregat-agregat tanah menjadi partikel-partikel yang kecil. Sebagian air yang berinfiltrasi ke dalam tanah setelah diisap oleh akar-akar tanaman ada yang ditranspirasikan (diuapkan kembali) dan yang masih tertahan di sekitar permukaan tanah sebagian mengalir secara lambat memasuki sungai yang ada di sekitar kawasan tersebut.
Tutupan lahan sangat berpengaruh terhadap jumlah dan kecepatan limpasan permukaan. Berikut disajikan hubungan antara kondisi lahan dengan jumlah massa air permukaan dan jumlah massa tanah yang tererosi pada tabel di bawah ini.

Tebel Hubungan antara kondisi lahan dengan jumlah air permukaan dan jumlah massa tanah yang tererosi (Benner, 1939)
Kondisi Tetumbuhan
Massa tanah yang tererosi (ton/acre)
Persentase air permukaan dari curah hujan (%)
Hutan lebat
0,00
0,12
Rumput
0,04
6,50
Ladang (tanah gembur)
73,20
41,95
Lahan gundul (tanah padat)
69,00
48,80

Melihat data yang disajikan dalam tabel diatas, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika hutan menjadi gundul ? Jika hutan menjadi gundul jumlah dan daya air hujan yang mengalir diatas permukan tanah akan meningkat cukup signifikan, sehingga potensi terjadinya erosi, banjir, dan tanah longsor serta pendangkalan sungai akibat sedimentasi akan semakin besar. Ketika suatu lahan merupakan hutan lebat presentase air hujan yang run off sekitar 0,12%, kondisi tersebut sangat bertolak belakang apabila suatu lahan dalam kondisi gundul, karena limpasan permukaan (run off) naik menjadi 48,80 %.

Jumlah dan Kecepatan Limpasan Permukaan (Run Off) akan Meningkat Apabila Suatu Lahan dalam Kondisi Gundul

Tumbuh-tumbuhan dalam suatu kawasan hutan mempunyai peranan dalam mengurangi dan menghambat laju lmpasan permukaan. Tentu situasinya akan sangat kontras apabila suatu lahan dalam kondisi gundul, karena jumlah air hujan yang run off (mengalir diatas permukaan) akan meningkat signifikan dan kecepatan air  pun bertambah, dimana kecepatannya berkisar antara dari 0,1 – 1 m/detik bahkan bisa mencapai lebih dari 10 m/detik tergantung dari kemiringan lahan, tinggi aliran dan penutup lahan, sehingga peluang terjadinya erosi dan banjir sangat besar.


Melihat peran tersebut, maka sangat penting untuk menjaga kelestarian hutan, secara khusus hutan di kawasan hulu DAS. Lahan-lahan  yang sudah terlanjur gundul atau dalam kondisi kritis perlu dihijaukan kembali (reboisasi) guna meminimalisir dampak-dampak negatif yang mungkin akan terjadi terhadap kawasan hutan di hulu DAS itu sendiri maupun kawasan bawahannya, baik yang sifatnya jangka pendek maupun jangka panjang. Diharapkan setiap aktivitas pembangunan, perladangan, maupun usaha perkayuan (HPH) memperhatikan zonasi dan fungsi kawasan yang tertera dalam RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) provinsi/kabupaten/kota. Jika suatu kawasan hutan telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan, maka harus bersih dari kegiatan budidaya yang sifatnya dapat menganggu fungsi lindung.  (*)

Sumber :
-          Rahim, SE. 2012. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi Aksra. Jakarta


Sabtu, 23 November 2013

Menduga Limpasan Permukaan dengan Metode Rasional

A. Defenisi Limpasan Permukaan

Limpasan permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air hujan per satuan waktu (intensitas), keadaan penutupan tanah, topografi (terutama kemiringan lereng), jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadinya hujan). Sedangkan jumlah dan kecepatan limpasan permukaan bergantung kepada luas areal tangkapan, koefisien run off dan intensitas hujan maksimum.
Mengapa perlu dilakukan pendugaan terhadap limpasan permukaan ? Karena limpasan permukaan dengan jumlah dan kecepatan yang besar sering menyebapkan pemindahan atau pengangkutan massa tanah secara besar-besaran dan berujung pada terjadinya musibah banjir di daerah yang rendah, terutama daerah yang merupakan dataran banjir (flood plain).
Atas alasan tersebut jumlah limpasan sangat penting untuk diketahui. Adapun tujuannya yakni ;
1        Untuk merancang jumlah dan dimensi saluran atau struktur lainnya dalam rangka menyimpan limpasan permukaan;
2        Untuk mengetahui besarnya laju limpasan permukaan di suatu daerah yang digunakan sebagai dasar untuk antisipasi penanganannya.

Informasi dasar yang dibutuhkan dalam melakukan pendugaan yaitu :
1        Jumlah keseluruhan air hujan yang mungkin jatuh, katakanlah setiap tahunnya. Sebaiknya data tersebut bersumber dari data iklim untuk periode ulang yang lama, misalnya 30 tahun ke atas;
2        Laju maksimum limpasan permukaan yang mungkin terjadi

B. Pendugaan Limpasan Permukaan
Pendugaan limpasan permukaan bergantung pada tiga faktor yakni,
1.      Jumlah maksimum curah hujan per satuan waktu (intensitas maksimum);
2.      Curah hujan yang menjadi limpasan permukaan (nilai faktor limpasan permukaan). Besarnya nilai faktor ini bergantung kepada topografi, kemiringan lereng, tekstur tanah, dan juga bergantung kepada tipe penutupan tanah serta pengelolaannya;
3.      Luas areal tangkapan (catchment area).

Dalam pendugaan laju puncak limpasan permukaan setidaknya ada tiga metode yang umum digunakan yakni, metode Rasional, metode Cook, dan metode USSCS (Biro Pelayanan Konservasi Tanah Amerika). Namun, kali ini kita hanya akan menduga limpasan permukaan dengan menggunakan metode Rasional yang merupakan rumus empiris yang paling tua dan sering digunakan. Rumusnya sebagai berikut :

Q (m3/dt) = 0,278 C x I x A
Dimana :
C= Koefisien limpasan
I = intensitas maksimum (mm/jam)
A= luas areal (hektare)

C. Contoh Soal Pendugaan Limpasan Permukaan
Pembangunan umumnya mempunyai dampak terhadap lingkungan, salah satunya dampak terhadap kondisi hidrologi di suatu kawasan yakni terjadi kenaikan pada debit limpasan permukaan. Berikut contoh soal dan jawabannya mengenai pendugaan limpasan permukaan yang dijelaskan dan diselesaikan secara garis besar. 

Contoh soal :
Di suatu daerah tangkapan seluas 20 hektare akan dibangun pusat bisnis dan perkantoran. Sebelum dibangun kawasan ini sebelumnya berupa hutan primer, dimana nilai koefisien limpasan permukaan (Ctp – C tanpa proyek) 0,30 (topografi datar dan tanahnya bertekstur liat dan lempung berdebu). Jika ketika telah selesai dibangun, 50% areal tersebut akan tertutup oleh permukaan kedap air (bangunan,aspal, beton,dll) maka Cdp (C dengan proyek) adalah 0,55. Apabila intensitas hujan sama, katakanlah 70 mm/jam dan luas areal tetap sama 20 hektare maka limpasan permukaan sesudah dan sebelum proyek adalah sebagai berikut :

         ·            Limpasan Permukaan Tanpa Proyek :
Q = 0,278 x C (tanpa proyek) x I x A
    = 0,278 x 0,30 x 70 x 20
    = 116,76 m3/dt
         ·            Limpasan Permukaan Dengan Proyek :
Q = 0,278 x C (dengan proyek) x I x A
    = 0,278 x 0,55 x 70 x 20
    = 214,06 m3/dt
         ·            Selisih debit
Q = Qdp – Qtp
= 214,06 – 116,76  
= 97,3 m3/dt

Dari perhitungan tersebut terlihat bahwa sebelum ada proyek (masih hutan primer) debit limpasan permukaan adalah 116,76 m3/dt dan setelah dilakukan pembangunan debit puncak limpasan permukaan menjadi 214,06 m3/dt. Artinya, terjadi kenaikan sebesar 97,3 m3/dt dari debit sebelum ada proyek (hutan primer). Hasil pendugaan ini nantinya dijadikan acuan dalam membuat saluran drainase agar kapasitasnya melebihi potensi banjir yang dapat terjadi (debit banjir maksimum). Langkah-langkah proses pendugaan limpasan permukaan tersebut digambarkan dalam bagan di bawah ini :




Sumber :
-          Rahim, SE. 2012. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta

-          Wesli,Ir.,2008, Drainase Perkotaan, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Kamis, 21 November 2013

Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan di Kawasan DAS Terhadap Peningkatan Debit Banjir

Berdasarkan laporan BMKG, saat ini 60% daerah di Indonesia telah memasuki musim penghujan. Ketika musim penghujan tiba penduduk yang bermukim diatas bantaran sungai maupun kawasan rendah yang sering menjadi langganan banjir mulai was-was dan bertindak antisipatif, mengingat sewaktu-waktu rumah dan harta benda mereka terancam terendam banjir akibat luapan sungai.
Salah satu penyebap utama terjadinya banjir adalah perubahan tata guna lahan, khususnya perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS). Mengapa demikian ?
Daerah aliran sungai (DAS) perannya begitu vital, sebap DAS berfungsi menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut; daerah sekitar sungai, meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan tempat sumber air sampai dan semua curahan air hujan yang mengalir ke sungai, sampai daerah dataran dan muara sungai.
Peran dan fungsi DAS amatlah begitu penting bagi manusia, namun peran dan fungsi tersebut sering kali tergganggu akibat perubahan tata guna lahan (land use), baik di hulu maupun hilir. Pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang begitu pesat membuat perubahan tata guna lahan marak terjadi. Selain itu, di era desentralisasi dan otonomi daerah dimana kewenangan yang diberikan pusat ke daerah lebih besar dalam hal perizinan tata guna lahan, marak sekali terjadi perubahan fungsi kawasan DAS.
Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS terutama dari hutan menjadi lahan pertanian budidaya dapat berdampak pada berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan debit maksimum-minimum (run off), erosi dan sedimentasi. Jika debit limpasan permukaan maksimum, otomatis debit banjir di sungai mengalami peningkatan dan apabila sungai tidak dapat menampung debit tersebut, pasti air akan meluap dan menggenangi kawasan sekitarnya. Sedangkan ketika debit minimum kekeringan akan terjadi, khususnya pada mata air yang terdapat intake (bangunan penangkap air).
Apabila hutan di kawasan DAS dibuka untuk kepentingan budidaya pertanian, industri, pembangunan perumahan, perkantoran, kawasan bisnis maupun pembangunan sarana fisik lainnya akan berdampak pada naiknya debit puncak dari 5 sampai 35 kali karena di DAS tidak ada yang menahan maka aliran permukaan (run off) menjadi besar, sehingga berakibat pada meningkatnya debit sungai.
Faktor penutupan lahan (vegetasi) cukup signifikan dalam pengurangan ataupun peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutup lahan yang tinggi, sehingga apabila hujan turun ke kawasan hutan tersebut, faktor penutup lahan ini akan memperlambat kecepatan aliran permukaan, bahkan bisa terjadi kecepatannya mendekati nol. Ketika suatu kawasan hutan berubah menjadi pemukiman, maka penutup lahan kawasan ini akan berubah menjadi penutup lahan yang tidak mempunyai resistensi untuk menahan aliran. Yang terjadi ketika hujan turun, kecepatan air akan meningkat tajam di atas lahan ini. Kawasan hutan di hulu DAS kemiringannya besar (> 40%) dan apabila vegetasi yang bisa menghambat laju air hujan yang run off hilang, maka kecepatan air meningkat tajam dan cenderung bersifat destruktif (daya rusak air meningkat). Hal terburuk yang mungkin bisa terjadi adalah banjir bandang, air yang kecepatannya besar karena dipengaruhi kemiringan ketika meluncur bisa menyeret batu-batu besar dan kayu gelondongan yang ada di sepanjang daerah pengalirannya.
Untuk mengurangi debit banjir yang diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan, perlu dimasukan aturan mengenai zonasi kawasan dalam dokumen rencana tata ruang (RUTR) provinsi maupun kabupaten/kota yang mengatur secara ketat dan tegas tentang kawasan lindung dan budidaya. Selanjutnya fungsi dan peruntukan kawasan yang tertuang dalam peta RUTR tersebut menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Jika zonasi telah diatur secara jelas, gangguan pada zona perlindungan bisa diminimalisir. Misalnya, kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung tidak boleh dirambah karena fungsinya memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun kawasan bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
Departemen PU telah membuat suatu kebijakan tentang debit sungai akibat dampak perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS), dengan menyatakan bahwa DAS boleh dikembangkan atau dirubah dengan delta Q zero policy atau ∆Q = 0. Arti kebijakan ini adalah bila suatu lahan di DAS berubah maka debit di suatu titik harus tetap sama. Hal ini dapat dilakukan dengan cara kompensasi yaitu pada lahan pemukiman harus disisahkan lahan untuk penahan run off akibat perubahan seperti dengan membuat sumur resapan, penanaman rumput atau semak-semak (tanaman) yang lebat, pembuatan embung, dll.
Mengapa sungai meluap dan air menggenangi rumah-rumah penduduk yang berada diatas bantaran sungai ? Karena terjadi peningkatan debit banjir, sementara kapasitas sungai tidak mampu menampung debit tersebut. Hal ini tambah diperparah dengan menurunnya kapasitas sungai atau waduk akibat sampah dan sedimentasi.
Dalam usaha pengendalian banjir ada tiga faktor utama yang perlu diperhatikan yakni, intensitas hujan, limpasan permukaan yang berlebih (meningkatnya debit banjir), dan saluran (alami maupun buatan). Kemudian tinggal pilih, usaha pengendalian mana yang lebih dikedepankan, apakah metode struktur atau non struktur. Metode non struktur antara lain, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pengaturan tata guna lahan, pengendalian erosi di DAS,dll. Sedangkan metode struktur antara lain; perbaikan sistem jaringan drainase, sudetan, waduk, embung, kolam retensi, bangunan pengurangan kemiringan sungai,dll. Apabila disederhanakan, inti masalahnya adalah mengalirkan kelebihan air hujan di permukaan (run off) ke laut melalui jalurnya maka pilihannya seperti ini, mengurangi debit limpasan permukaan (debit banjir) dengan memperbanyak daerah resapan atau memperbanyak saluran (waduk, embung, spilway,dll) untuk menampung debit banjir tersebut. Jika debit limpasan permukaan kecil karena sebagian besar telah meresap ke dalam tanah, maka tidak perlu memperbanyak saluran. Metode non struktur lebih murah dibandingkan struktur.
Melakukan usaha pengendalian banjir di daerah pedesaan dengan menerapkan metode struktur maupun non struktur bukanlah persoalan yang berarti, karena banyak lahan kosong dan tata guna lahannya tidak serumit di daerah perkotaan. Sedangkan usaha pengendalian banjir di perkotaan tidak semudah membalikan telapak tangan karena banyak persoalan yang melilit, mulai dari budaya warga yang suka membuang sampah di sungai, minimnya daerah resapan, pemukiman di bantaran sungai yang padat dan kumuh, lahan yang terbatas untuk membangun bangunan pengendali banjir. Dalam melaksanakan semua usaha pengendalian banjir tentu butuh dana yang besar untuk keperluan pembebasan lahan, merelokasi warga yang bermukim diatas bantaran sungai, dan untuk mendanai pekerjaan struktur.
Akhir kata, perubahan tata guna lahan di kawasan DAS bukan sesuatu yang haram, asalkan tetap memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Jika kita bersahabat dengan lingkungan dan tidak melakukan tindakan yang bersifat destruktif, maka lingkungan juga akan bersahabat dan kita pun terhindar dari musibah banjir, tanah longsor maupun kekeringan. (*)

Sumber Pustaka :
           -           Kondoatie RJ & Sjarief Roestam.,2008, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit ANDI, Yogyakarta
           -           Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
           -           UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air