Label

Kamis, 21 November 2013

Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan di Kawasan DAS Terhadap Peningkatan Debit Banjir

Berdasarkan laporan BMKG, saat ini 60% daerah di Indonesia telah memasuki musim penghujan. Ketika musim penghujan tiba penduduk yang bermukim diatas bantaran sungai maupun kawasan rendah yang sering menjadi langganan banjir mulai was-was dan bertindak antisipatif, mengingat sewaktu-waktu rumah dan harta benda mereka terancam terendam banjir akibat luapan sungai.
Salah satu penyebap utama terjadinya banjir adalah perubahan tata guna lahan, khususnya perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS). Mengapa demikian ?
Daerah aliran sungai (DAS) perannya begitu vital, sebap DAS berfungsi menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut; daerah sekitar sungai, meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan tempat sumber air sampai dan semua curahan air hujan yang mengalir ke sungai, sampai daerah dataran dan muara sungai.
Peran dan fungsi DAS amatlah begitu penting bagi manusia, namun peran dan fungsi tersebut sering kali tergganggu akibat perubahan tata guna lahan (land use), baik di hulu maupun hilir. Pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang begitu pesat membuat perubahan tata guna lahan marak terjadi. Selain itu, di era desentralisasi dan otonomi daerah dimana kewenangan yang diberikan pusat ke daerah lebih besar dalam hal perizinan tata guna lahan, marak sekali terjadi perubahan fungsi kawasan DAS.
Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS terutama dari hutan menjadi lahan pertanian budidaya dapat berdampak pada berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan debit maksimum-minimum (run off), erosi dan sedimentasi. Jika debit limpasan permukaan maksimum, otomatis debit banjir di sungai mengalami peningkatan dan apabila sungai tidak dapat menampung debit tersebut, pasti air akan meluap dan menggenangi kawasan sekitarnya. Sedangkan ketika debit minimum kekeringan akan terjadi, khususnya pada mata air yang terdapat intake (bangunan penangkap air).
Apabila hutan di kawasan DAS dibuka untuk kepentingan budidaya pertanian, industri, pembangunan perumahan, perkantoran, kawasan bisnis maupun pembangunan sarana fisik lainnya akan berdampak pada naiknya debit puncak dari 5 sampai 35 kali karena di DAS tidak ada yang menahan maka aliran permukaan (run off) menjadi besar, sehingga berakibat pada meningkatnya debit sungai.
Faktor penutupan lahan (vegetasi) cukup signifikan dalam pengurangan ataupun peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutup lahan yang tinggi, sehingga apabila hujan turun ke kawasan hutan tersebut, faktor penutup lahan ini akan memperlambat kecepatan aliran permukaan, bahkan bisa terjadi kecepatannya mendekati nol. Ketika suatu kawasan hutan berubah menjadi pemukiman, maka penutup lahan kawasan ini akan berubah menjadi penutup lahan yang tidak mempunyai resistensi untuk menahan aliran. Yang terjadi ketika hujan turun, kecepatan air akan meningkat tajam di atas lahan ini. Kawasan hutan di hulu DAS kemiringannya besar (> 40%) dan apabila vegetasi yang bisa menghambat laju air hujan yang run off hilang, maka kecepatan air meningkat tajam dan cenderung bersifat destruktif (daya rusak air meningkat). Hal terburuk yang mungkin bisa terjadi adalah banjir bandang, air yang kecepatannya besar karena dipengaruhi kemiringan ketika meluncur bisa menyeret batu-batu besar dan kayu gelondongan yang ada di sepanjang daerah pengalirannya.
Untuk mengurangi debit banjir yang diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan, perlu dimasukan aturan mengenai zonasi kawasan dalam dokumen rencana tata ruang (RUTR) provinsi maupun kabupaten/kota yang mengatur secara ketat dan tegas tentang kawasan lindung dan budidaya. Selanjutnya fungsi dan peruntukan kawasan yang tertuang dalam peta RUTR tersebut menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Jika zonasi telah diatur secara jelas, gangguan pada zona perlindungan bisa diminimalisir. Misalnya, kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung tidak boleh dirambah karena fungsinya memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun kawasan bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
Departemen PU telah membuat suatu kebijakan tentang debit sungai akibat dampak perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS), dengan menyatakan bahwa DAS boleh dikembangkan atau dirubah dengan delta Q zero policy atau ∆Q = 0. Arti kebijakan ini adalah bila suatu lahan di DAS berubah maka debit di suatu titik harus tetap sama. Hal ini dapat dilakukan dengan cara kompensasi yaitu pada lahan pemukiman harus disisahkan lahan untuk penahan run off akibat perubahan seperti dengan membuat sumur resapan, penanaman rumput atau semak-semak (tanaman) yang lebat, pembuatan embung, dll.
Mengapa sungai meluap dan air menggenangi rumah-rumah penduduk yang berada diatas bantaran sungai ? Karena terjadi peningkatan debit banjir, sementara kapasitas sungai tidak mampu menampung debit tersebut. Hal ini tambah diperparah dengan menurunnya kapasitas sungai atau waduk akibat sampah dan sedimentasi.
Dalam usaha pengendalian banjir ada tiga faktor utama yang perlu diperhatikan yakni, intensitas hujan, limpasan permukaan yang berlebih (meningkatnya debit banjir), dan saluran (alami maupun buatan). Kemudian tinggal pilih, usaha pengendalian mana yang lebih dikedepankan, apakah metode struktur atau non struktur. Metode non struktur antara lain, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pengaturan tata guna lahan, pengendalian erosi di DAS,dll. Sedangkan metode struktur antara lain; perbaikan sistem jaringan drainase, sudetan, waduk, embung, kolam retensi, bangunan pengurangan kemiringan sungai,dll. Apabila disederhanakan, inti masalahnya adalah mengalirkan kelebihan air hujan di permukaan (run off) ke laut melalui jalurnya maka pilihannya seperti ini, mengurangi debit limpasan permukaan (debit banjir) dengan memperbanyak daerah resapan atau memperbanyak saluran (waduk, embung, spilway,dll) untuk menampung debit banjir tersebut. Jika debit limpasan permukaan kecil karena sebagian besar telah meresap ke dalam tanah, maka tidak perlu memperbanyak saluran. Metode non struktur lebih murah dibandingkan struktur.
Melakukan usaha pengendalian banjir di daerah pedesaan dengan menerapkan metode struktur maupun non struktur bukanlah persoalan yang berarti, karena banyak lahan kosong dan tata guna lahannya tidak serumit di daerah perkotaan. Sedangkan usaha pengendalian banjir di perkotaan tidak semudah membalikan telapak tangan karena banyak persoalan yang melilit, mulai dari budaya warga yang suka membuang sampah di sungai, minimnya daerah resapan, pemukiman di bantaran sungai yang padat dan kumuh, lahan yang terbatas untuk membangun bangunan pengendali banjir. Dalam melaksanakan semua usaha pengendalian banjir tentu butuh dana yang besar untuk keperluan pembebasan lahan, merelokasi warga yang bermukim diatas bantaran sungai, dan untuk mendanai pekerjaan struktur.
Akhir kata, perubahan tata guna lahan di kawasan DAS bukan sesuatu yang haram, asalkan tetap memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Jika kita bersahabat dengan lingkungan dan tidak melakukan tindakan yang bersifat destruktif, maka lingkungan juga akan bersahabat dan kita pun terhindar dari musibah banjir, tanah longsor maupun kekeringan. (*)

Sumber Pustaka :
           -           Kondoatie RJ & Sjarief Roestam.,2008, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit ANDI, Yogyakarta
           -           Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
           -           UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air


Tidak ada komentar:

Posting Komentar