Label

Sabtu, 23 Maret 2013

Apa Kriteria Suatu Kawasan Hutan Bisa Ditetapkan Sebagai Kawasan Hutan Lindung ?




Pada dua topik pembahasan kita dalam satu minggu terakhir ini, sempat kita membahas mengenai kawasan hutan lindung yang tidak boleh dirambah.  Kawasan hutan lindung sendiri adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan.
Dari gambaran singkat diatas timbul sebuah pertanyaan, apa kriteria suatu areal bisa ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung ? Dalam pasal 8 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dijelaskan mengenai kriteria kawasan hutan lindung adalah :
a         Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi skor 175, dan/atau;
b        Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih, dan/atau;
c         Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian diatas permukaan atau 2.000 meter atau lebih.
Pada pasal 8 point a penjelasannya sebagai berikut, suatu kawasan hutan akan ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung apabila ketiga faktor yakni lereng lapangan, jenis tanah curah hujan skornnya dijumlahkan sama dengan atau melebihi 175. Pertanyaannya kemudian, skor 175 itu barang apa ? skor 175 itu dari mana ?
Pasal 8 point a Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, itu merupakan turunan dari SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980, yang mengatur tentang kriteria fungsi kawasan. SK Mentan tersebut menjelaskan, lahan-lahan di Indonesia dapat diperuntukan ke dalam satu atau lebih dari kategori peruntukan berikut.
a         Kawasan lindung.
b        Kawasan penyangga.
c         Kawasan budidaya tanaman tahunan.
d        Kawasan budidaya tanaman semusim.
e        Kawasan pemukiman.
Untuk membagi lahan sesuai peruntukannya, ada tiga faktor utama yang digunakan dalam klasifikasi peruntukan di atas. (1) kemiringan lereng, (2) faktor jenis tanah dan kepekaannya terhadap erosi, dan (3) faktor curah hujan harian rata-rata. Ketiga faktor tersebut dibagi kedalam kelasnya masing-masing (sistem skoring). Suatu kawasan hutan dilakukan survey (inventarisir) terlebih dahulu dan dilakukan penilaian berdasarkan tiga faktor utama. Hasil skor tiga faktor utama dijumlahkan, kalau skornya sama dengan atau melebihi 175, maka suatu kawasan hutan layak ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Ibarat acara pencarian bakat, tiga juri menilai salah satu peserta dan nilai ketiga juri dikumpulkan lalu ditotalkan, kemudian disimpulkan peserta tersebut layak lolos atau tidak dalam audisi. Selengkapnya Anda cari dan baca sendiri dalam SK Mentan, SK ini sendiri merupakan cikal-bakal lahirnya undang-undang penataan ruang yang ada sekarang ini. 


Beberapa hari yang lalu kita berbicara mengenai kawasan cagar alam Cykloop yang perannya begitu penting bagi masyarakat yang mendiami wilayah kota dan kabupaten Jayapura.
Kawasan Cykloop statusnya adalah cagar alam. Sejak 1974 Pemerintah Indonesia menetapkan (memberi status) kawasan Cykloop sebagai cagar alam. Agar berlandaskan hukum, kebijakan ini lalu ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 56/Kpts/Um/101/1978. Luas areal dalam kawasan cagar alam yang telah ditetapkan seluas 22.520 Ha.
Gunung yang mempunyai nama lain Dafonsoro ini, tingginya hanya sekitar 2000 meter dari permukaan laut, tapi perannya sangat besar bagi warga di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura. Anak-anak sungai yang mengalir menuruni lereng kawasan Cykloop merupakan sumber air bagi warga Kota dan Kabupaten Jayapura (Maaf data hasil Penelitian sebuah NGO yang ada di notebook penulis itu data lama, data baru tentang berapa sungai yang masih mengalir? Berapa debitnya ? Serta dari luasan 22.520 Ha total luasan cagar alam Cykloop, berapa lahan yang masih perawan atau belum dirambah ? Itu belum ada atau memang penulis saja yang aksesnya lambat untuk mendapatkan informasi tersebut).
Melihat peran Cykloop yang begitu vital bagi warga di Kota dan Kabupaten Jayapura, karena memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah, maka kawasan hutan di Cykloop (Dafonsoro) layak ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung, karena memenuhi sejumlah kriteria tentang kawasan lindung yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kira-kira pembahasan kita seperti itu. Jika ada yang bertanya, mengapa kita membedah undang-undang pada beberapa topik kita akhir-akhir ini ? Jawabannya, ini adalah negara hukum, jika kita berbicara kita harus mempunyai landasan berpijak, dimana pun kita bekerja ada undang-undang yang mengatur. Mengapa ada sejumlah orang yang terjerat kasus hukum ? Itu karena mereka tidak paham peraturan (undang-undang) atau hendak mencari celah di balik peraturan untuk tujuan tertentu. Sederhananya, Anda paham aturan main dan berbuatlah sesuai aturan. Selamat malam (*berbagai sumber*)

Jumat, 22 Maret 2013

Peranan Tumbuh-tumbuhan dalam Mengurangi Jumlah Limpasan Permukaan




Kemarin kita telah membahas sebuah topik yang menarik yakni mengenai,  "Peranan Penataan Ruang dalam Meminimalisir Bencana Banjir dan Tanah Longsor”. Dalam topik tersebut kita sempat membahas musibah banjir yang melanda sejumlah kawasan di wilayah kota maupun kabupaten Jayapura, dimana banjir terjadi akibat limpasan permukaan yang besar. Limpasan permukaan dengan jumlah dan kecepatan yang besar sering menyebapkan pemindahan atau pengangkutan massa tanah secara besar-besaran pula. Contohnya banjir yang melanda Kota Jayapura beberapa hari lalu, dimana muatan material (lumpur, kerikil, silt, lanau) yang di bawa banjir tumpah ruah dan menumpuk diatas jembatan Entrop dan menyebapkan kemacetan panjang mulai dari Entrop sampai Kotaraja.
Apa itu limpasan permukaan atau yang sering disebut dengan run off ? Limpasan permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan ini sangat bergantung kepada jumlah air hujan per satuan waktu (intensitas), keadaan penutupan tanah, topografi (terutama kemiringan lereng), jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadinya hujan).
Pada waktu terjadinya, butir-butir air hujan dengan gaya kinetiknya menimpa tanah (terutama tanah-tanah gundul) dan memecahkan bongkah-bongkah tanah atau agregat-agregat tanah menjadi partikel-partikel yang kecil. Partikel-partikel tersebut mengikuti infiltrasi lalu menyumbat pori tanah. Akibatnya apabila hujan semakin lebat atau berlangsung lebih lama maka akan terbentuklah limpasan permukaan dengan jumlah dan kecepatan tertentu.
Nah, bagaimana cara mengurangi jumlah limpasan permukaan agar musibah banjir tidak terjadi atau setidaknya mengurangi debit banjir ? Cara sederhana adalah dengan melakukan penanaman tumbuhan-tumbuhan atau bahasa populernya ‘reboisasi’ di daerah tangkapan air. Berdasarkan penelitian secara ilmiah dan nalar masyarakat awam sejak turun-temurun, dipercaya tumbuhan-tumbuhan dapat mengurangi jumlah limpasan permukaan.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara tumbuh-tumbuhan mengurangi jumlah limpasan permukaan ? Tumbuhan-tumbuhan yang sangat lebat, baik yang tumbuh secara alami di suatu kawasan hutan ataupun tumbuh-tumbuhan yang sengaja ditanam oleh manusia (ekosistem buatan) dapat berguna untuk mengurangi jumlah limpasan permukaan. Hujan yang turun akan ditahan dan dihambat pergerakannya oleh daun-daunan dan ranting tumbuhan-tumbuhan sebelum jatuh dan menimpa tanah. Hujan yang bergerak turun dari langit itu memiliki energi (energi kinetik), setelah dihambat oleh daun-daunan dan ranting-ranting energi tumbukan titik-titik hujan akan berkurang, sehingga kekuatannya akan melemah dan tidak dapat memecahkan bongkah-bongkah tanah menjadi partikel-partikel yang lebih kecil. Ketika sampai ke permukaan tanah air hujan kebanyakan akan mengalir ke bawah mengikuti batang-batang pohon, sebagian air lagi akan berinfiltrasi ke dalam tanah karena dihisap oleh akar-akar tanaman, nanti sebagian air ini digunakan tumbuhan untuk pertumbuhannya dan sisanya diuapkan kembali (transpirasi). Sebagian air lagi akan diambil humus (diabsorbsi) untuk kepentingan pelapukan dan hasil dari kerjannya tanah menjadi subur dan gembur.
Air hujan yang meresap ke dalam tanah dan terus melakukan kegiatan meluncur akan berperkolasi, baik secara horizontal maupun vertikal, bahkan mungkin lateral. Yang terus meluncur ke arah horizontal kemungkinan akan keluar sebagai mata air di bukit-bukit dan gunung-gunung, bahkan juga lembah-lembah. Yang terus berperkolasi akan tinggal sebagai cadangan air tanah, yang dapat dimanfaatkan dengan cara disedot dengan pompa atau diambil dengan cara membuat sumur terlebih dahulu, untuk selanjutnya air diambil (ditimba) dengan menggunakan ember (ember+pengikat tali+katrol).
Jawaban dari pertanyaan diatas kira-kira seperti itu. Tumbuh-tumbuhan yang beranekaragam yang tumbuh di suatu ekosistem hutan tidak hanya berperan dalam mengurangi jumlah limpasan permukaan yang menjadi salah satu faktor penyebap terjadinya banjir, tapi juga berperan dalam penyediaan air bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Selain itu, dengan berkurangnya limpasan permukaan otomatis erosi tanah akan berkurang, karena air hujan yang run off adalah aktor utama dalam proses erosi tanah. Begitu pentingnya tumbuh-tumbuhan bagi manusia dan hewan herbivora dan omnivora, maka sudah layaknya kita melakukan gerakan penghijauan di lingkungan kita masing-masing, serta berhenti melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji seperti melakukan pembalakan liar di kawasan yang dilindungi.
Melakukan penghijauan di daerah tangkapan air, bukan berarti limpasan air hujan yang debitnya besar akan berkurang atau turun drastis, karena jumlah limpasan permukaan ini menyangkut beberapa faktor lainnya seperti, jenis tanah, topografi, tutupan lahan, dan tentunya curah hujan.
Kalau di daerah pedesaan yang masih hijau tentu debit limpasan permukaannya tidak terlalu besar, dibandingkan di kawasan perkotaan. Di kawasan perkotaan pemain kunci adalah penggunaan lahan (land use). Perumahan berapa ha (hektar) ? Kantor pemerintah berapa ha ? Perdagangan dan jasa berapa ha ? Hutan lindung berapa ha ? Hutan kota berapa ha ? Dll. Jika daerah resapannya kurang maka sudah pasti limpasan permukaannya besar. Tutupan lahannya berupa apa ? Beton, aspal, semen, rumput-rumput atau tanah. Tutupan lahan ini yang sering disebut dengan koefisien limpasan permukaan (C).
Nanti limpasan permukaan ini akan dihitung mengunakan rumus rasional (Q = 0,278 C x I x A). Setelah limpasan permukaannya diketahui, akan digunakan sebagai dasar untuk antisipasi penanganannya atau bagaimana cara menangani kelebihan air ? Selanjutnya dibuat rencana teknis, bagaimana dimensi saluran drainase ? Bagaimana dimensi atau volume waduk untuk menampung debit banjir (debit rencana) sekian ? Mengetahui besarnya limpasan permukaan itu penting, percuma kalau debit limpasan permukaan kecil tapi kita bangun waduk yang besar, rugi dan bikin habis anggaran.
Pembahasan kita mengenai peranan tumbuhan-tumbuhan dalam mengurangi jumlah limpasan permukaan seperti itu. Apa yang kita bahas kali ini dalam konteks konservasi air dan tanah dan menurut kacamata Teknik Lingkungan, soal aspek teknis seperti teknik perhitungan debit rencana dan bagaimana bentuk bangunan untuk menampung limpasan permukaan yang besar, itu tanyakan kepada mahasiswa Teknik Sipil atau Alumni Teknik Sipil atau bisa kepada orang-orang yang berkompeten di bidang tersebut. Selamat malam. (*)

Kamis, 21 Maret 2013

Peranan penataan Ruang dalam Meminimalisir Bencana Banjir dan Tanah Longsor



Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir ini di wilayah Kota dan Kabupaten Jayapura seringkali dilanda peristiwa banjir dan tanah longsor, bahkan dari sekian peristiwa yang terjadi secara beruntun ini telah menelan sejumlah korban jiwa dan merusak harta benda.
Peristiwa yang berujung dengan kesedihan dan kerugian, itu seringkali disebut dengan bencana, malapetaka atau musibah. Datangnya bencana seringkali tidak bisa diprediksi oleh manusia, tapi kabar baiknya manusia bisa membuat sebuah rencana dan langkah-langkah antisipatif, baik itu bersifat teknis maupun non teknis untuk menghindari atau bahkan meminimalisir dampak negatif (destruktif) dari bencana yang akan terjadi sewaktu-waktu.
Dari sekian langkah-langkah antisipatif terhadap bencana salah satunya adalah melalui penataan ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan dari penataan ruang adalah dalam rangka pemanfaatan ruang yang bersifat aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Sifat aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan adalah arti utama dari ruang dan tata lingkungan yang berkualitas.
Nah, apa korelasi antara penataan ruang dengan penanganan bencana dalam konteks langkah antisipatif sejak dini ? Dalam perencanaan tata ruang dilakukan zonasi kawasan, mana kawasan lindung dan mana kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencangkup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
Kita fokus pada kawasan lindung. Kawasan lindung itu diatur lebih spesifik dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Dalam pasal 3, kawasan lindung dibagi menjadi empat kawasan yaitu, kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam.
Misalnya kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya yaitu, kawasan hutan lindung, kawasan hutan bergambut, kawasan resapan air. Prinsip sebap akibat berbicara disini, kita membangun di areal perbukitan yang merupakan daerah resapan air, otomatis ketika curah hujan tinggi akan terjadi banjir di daerah rendah yang merupakan daerah pengaliran. Artinya, apa yang kita lakukan diatas mempengaruhi kawasan di bawahnya. Ibarat kawula muda yang berpacaran secara tidak sehat dan lewat batas, sehingga si wanita kena mag di perut ( ada maghkluk/makhluk hidup di perut). Itu penulis bercanda saja.....!
Contoh kasus : “Disinyalir tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), aktivitas pembangunan perumahan Organda di areal kawasan perbukitan atau peresapan air di Kelurahan Hedam, Distrik Heram, terancam dihentikan. Selain tidak memiliki IMB, aktivitas pembangunan di daerah perbukitan yang merupakan daerah resapan air tersebut juga dituding sebagai penyebap/pemicu terjadinya musibah banjir di kawasan tersebut. “ (Cenderawasih Pos, Jumat 15 Maret 2013).
Kawasan perbukitan Organda itu masuk dalam daerah resapan air (kawasan lindung). Apa itu kawasan resapan air ? Kawasan resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air. Bangunan perumahan di Organda yang dibangun developer, itu harus ditertibkan dan jelas dibangun diatas kawasan yang telah ditetapkan sebagai fungsi lindung karena berfungsi sebagai daerah resapan air. Tindakan penertiban itu sebuah langkah antisipatif (non teknis) untuk menghindari bencana banjir di masa depan. Sedangkan rencana pembangunan waduk buatan di sekitar kolam kangkung (belakang perumahan dosen Uncen), untuk menampung kelebihan air akibat run off yang debitnya besar itu merupakan perencanaan teknis untuk menangani banjir.
Dalam Pasal 32 UU No 32 Tahun 1990 disebukan bahwa “Perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebapkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia”. Selanjutnya pada pasal 33 disebutkan bahwa, “Kriteria kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang diidentifikasi sering dan berpotensi tinggi mengalami bencana alam seperti letusan gunung berapi, gempa bumi dan tanah longsor.”
Dari dua pasal diatas jelas ditegaskan bahwa dilarang membagun di kawasan rawan bencana, seperti di daerah yang tanahnya punya potensi mengalami longsor, ambles,dll. Peta daerah rawan bencana longsor maupun banjir di Kota maupun Kabupaten Jayapura itu perlu dibuat, sehingga dapat menjadi acuan bagi warga untuk membangun dan dapat menjadi acuan dalam menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kendala utama dalam mensterilkan kawasan rawan bencana di Kota Jayapura adalah keterbatasan lahan, karena sekitar 40% lahan di kota ini merupakan perbukitan, sehingga banyak warga yang membangun rumah di kawasan yang kelerengannya dapat mencapai 10-40%. Daerah-daerah ini sangat rawan longsor, sehingga sewaktu-waktu bencana tanah longsor sangat potensial terjadi dan menelan korban jiwa.
Contoh kasus lainnya meluapnya Danau Sentani yang mengakibatkan rumah warga di pesisir danau terendam air. Ini berarti ketika curah hujan tinggi, kemungkinan air hujan dengan jumlah yang besar mengalir di permukaan (run off), dan sedikit yang mengalami infiltrasi dan perkolasi ke dalam tanah, sehingga perlu dilakukan pendugaan limpasan dari daerah tangkapan, besarnya berapa ? Mengapa run off-nya besar ? Ada masalah apa di daerah tangkapan (cycloop) sehingga air hujan yang run off debitnya besar ? Ada masalah apa di kawasan rawa sagu yang berfungsi sebagai daerah resapan air ? Ada masalah apa di Jaifury sebagai pintu keluar air dari danau menuju laut ? Berapa debit air banjir sungai-sungai yang berhulu di Cycloop dan bermuara di Danau Sentani ? Kelebihan air ketika curah hujan tinggi mau di tampung dimana atau di alirkan kemana ? Perencanaan non teknis seperti apa ? Perencanaan teknis seperti apa dalam menanggani limpasan air yang besar ?
Ini harus menjadi perhatian pemerintah dan stakeholder lainnya dan juga masyarakat luas. Regulasi yang dibuat pemerintah sudah jelas dan sudah dibuat zonasi kawasan, ini kawasan lindung dan itu budidaya. Kawasan lindung tidak boleh dirambah, tapi tetap saja dirambah dengan seribu macam tujuan dan kalau ditertibkan ujung-ujungnya ribut dengan seribu macam alasan yang bersifat argumentatif.
Aturan sudah jelas, tapi kalau mengatur satu atau dua orang itu mudah saja, akan susah kalau mengatur ribuan bahkan puluhan ribu orang yang mempunyai kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Intinya semua kembali kepada kesadaran setiap individu untuk tidak merambah serta melakukan tindakan apapun yang bersifat destruktif di kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, jika tidak kita akan menuai bencana di masa depan. Kenyataan seperti yang telah terjadi di kota dan kabupaten Jayapura dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, yakni bencana banjir dan tanah longsor. (*)
Sumber :
-          UU Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
-          Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
-          “Disinyalir Tak Miliki IMB, Pembangunan Perumahan Organda terancam Dihentikan”, Cenderawasih Pos, Jumat 15 Maret 2013.

Selasa, 05 Maret 2013

Peranan Penataan Ruang Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Sebelum kita membahas sebuah topik yang menarik di malam hari yang berbahagia ini mengenai, “Peranan Penataan Ruang Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”, Penulis ingin bertanya kepada Anda para pembaca sekalian, apakah Anda punya rumah ? Pasti semua orang punya rumah dan di dalam rumah terbagi atas beberapa ruang, ada dapur, ruang keluarga, kamar tidur,dll. Ada sekat yang memisahkan satu ruang dengan ruang lainnya. Masing-masing ruang di bagi berdasarkan fungsinya, dapur untuk memasak, ruang keluarga untuk berkumpul sambil menonton TV, kamar tidur untuk tidur,dll. Akan sangat tidak etis, kalau di kamar tidur yang fungsi utamanya untuk beristirahat melepas kepenatan dipake buat nonton televisi. Kalau sudah kearah privat seperti itu, apa yang ditonton patut dicurigai juga.
Bukan hanya rumah saja yang perlu di bagi ruang-ruang berdasarkan fungsi dan peruntukannya, namun ruang-ruang di muka bumi juga perlu ditata agar tercipta suatu keselarasan, keserasian dan keseimbangan. Ruang tersebut meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai suatu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lain, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Penataan ruang memiliki peranan penting dalam usaha perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Seperti apakah peranan penataan ruang bagi usaha perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ?
Kalau kita lihat dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada benang merah yang menghubungkan dua peraturan tersebut dalam konteks usaha perlindungan lingkungan tentunya
. Dalam pasal 19 ayat 1 dan 2 Undang-undang PPLH 2009 dijelaskan bahwa, untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, wajib didasarkan pada KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) dan perencanaan tata ruang wilayah ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. KLHS berisi kajian tentang kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan, perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup, kinerja layanan/jasa ekosistem, efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim, dan tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Setelah dilakukan pengkajian, hasilnya akan dijadikan bahan pertimbangan dalam perencanaan tata ruang wilayah. Misalnya, setelah dilakukan pengkajian di Taman Nasional Lorentz, ditemukan bahwa ada beberapa aktivitas yang memberi dampak negatif bagi kawasan TNL, hasil ini akan dipertimbangkan dalam revisi RTRW nantinya. Aktivitas yang memberi dampak negatif bagi lingkungan akan ditertibkan atau sering disebut dengan pengendalian pemanfaatan ruang yakni, sebuah upaya untuk mengwujudkan tertib tata ruang.
Dalam pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, intinya menjelaskan bahwa Penataan Ruang diselenggarakan guna mengwujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, guna terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, guna terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Intinya dua peraturan ini mempunyai tujuan yang sama yakni, guna mengwujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan serta antara manusia dan lingkungan itu sendiri (alam dan buatan), sehingga terciptalah apa yang dinamakan dengan “keseimbangan”.
Sekarang kita kembali ke pertanyaan diatas, Seperti apakah peranan penataan ruang bagi usaha perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ? Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Agar Anda paham, langsung kita masuk pada contoh kasus di kota kita, Jayapura, dalam Rencana Tata Ruang Kota Jayapura Tahun 2027 (Pola Ruang dan Struktur Ruang) telah dibuat zonasi kawasan, mana kawasan pendidikan, perdagangan, hutan lindung, hutan produksi,dll. Berdasarkan kajian lingkungan hidup strategis ditetapkan suatu areal sebagai kawasan hutan lindung, maka kawasan tersebut tidak boleh dirambah. Misalnya, kawasan cagar alam Cycloop yang merupakan kawasan lindung, jika kawasan ini dibuka untuk kepentingan tertentu harus mempunyai izin dari instansi terkait dan diwajibkan setiap kegiatan yang memasuki kawasan lindung harus melakukan studi Amdal.
Next, pengendalian pemanfaatan ruang contoh kongkritnya itu seperti apa ? Bagi Anda yang sempat ke Jayapura Kota beberapa bulan yang lalu dan melewati kawasan Bucend Entrop dan melihat police line di samping tanah dekat bukit karang, itu dinamakan aktivitas pengendalian pemanfaatan ruang. Kegiatan atau aktivitas yang tidak sesuai dengan arahan tata ruang, harus ditertibkan. Untuk peta Rencana Pola Ruang dan Struktur Ruang Kota Jayapura 2027, Anda bisa cari sendiri dan lihat sendiri.
Penataan ruang memiliki peranan penting dalam usaha perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam RTRW, itu dibuat zonasi kawasan. Misalnya, dari hasil kajian mengenai keanekaragaman hayati di kawasan Pegunungan Foja, Mamberamo, disimpulkan bahwa keanekaragaman hayati di kawasan ini sangat tinggi dan terdapat flora dan fauna yang bersifat endemik, sehingga kawasan ini layak ditetapkan sebagai kawasan lindung. Nanti hasil kajian ini dituangkan dalam revisi RTRW kabupaten maupun provinsi, dan dimasukan dalam peta tata ruang wilayah. Setiap investor, baik itu yang akan berinvestasi di sektor pertambangan maupun perkebunan di kawasan Mamberamo, akan berpatokan pada peta tata ruang wilayah. Jika rencana investasinya memasuki areal yang dilindungi, pasti terbentur peraturan dan rencana investasinya diurungkan. Jika ngotot ingin tetap berinvestasi, harus dilakukan alih fungsi kawasan lindung ke budidaya dan untuk melakukan alih fungsi kawasan harus mendapat izin dan persetujuan dari lembaga yang berwenang dan mekanisme serta prosedur yang dilewati harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selain itu, penataan ruang juga turut berperan dalam menciptakan lingkungan yang asri. Misalnya, dalam pasal 29 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dijelaskan mengenai ruang terbuka hijau RTH. Dimana proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota dan proporsi ruang terbuka hijau publik paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Sebagai contoh Kota Jayapura dengan luas wilayah yang mencapai 940 km2, idealnya 282 km2 itu merupakan ruang terbuka hijau. Kalau ruang terbuka hijau publik, disesuaikan dengan persebaran penduduk di Kota Jayapura. Persebaran penduduk terpusat di tengah kota, tapi taman-taman dengan pepohonan yang rimbun dibuat di Distrik Muara Tami yang penduduknya sedikit, itu tidak sesuai dengan yang diatur dalam peraturan diatas.
Kira-kira cerita kita di malam hari ini seperti itu, kalau ada kesalahan harap maklum, karena disini kita sama-sama belajar. (*)

Sumber :
-          Undang- undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
-          Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.