Label

Sabtu, 28 Juni 2014

Kriteria Pembagian Kawasan Menurut Peruntukannya

Jumlah penduduk dari tahun ke tahun mengalami peningkatan akibat tingginya angka kelahiran (natalitas) maupun karena tingginya arus urbanisasi. Penduduk yang bertambah ini membutuhkan sarana pemukiman dan sarana penunjang kehidupan seperti jalan, jembatan, tempat peribadahtan,dll. Pembangunan sarana dan prasarana tentu membutuhkan lahan, sementara lahan di muka bumi ini tidak bertambah (tetap). Oleh karena itu lahan perlu diatur menurut peruntukannya, agar tercipta sebuah keseimbangan dan keharmonisan dalam lingkungan.
Untuk mengatur lahan di Indonesia sesuai peruntukannya, Menteri Pertanian mengeluarkan SK No 837/Kpts/II/ 1980 yang mengatur tentang Klasifikasi Penggunaan Lahan. SK Mentan ini merupakan cikal bakal lahirnya Undang-undang tentang Penataan Ruang yang ada saat ini. Undang-undang Tata Ruang di Indonesia baru lahir tahun 1992, dengan diterbitkan UU No 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang dan direvisi lagi dengan melahirkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.  Lahan atau kawasan di Indonesia secara umum dapat diperuntukan kedalam beberapa kategori peruntukan sebagai berikut :
1. Kawasan Lindung
Syarat untuk menetapkan suatu kawasan menjadi kawasan lindung adalah sebagai berikut :
a        Mempunyai lereng lapangan > 45%
b        Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah Regosol, Litosol, Organosol, dan Renzina dengan lereng > 15%
c         Merupakan jalur pengaman aliran sungai/air sekurang-kurangnya 100 m di kiri kanan sungai/aliran air tersebut
d        Merupakan pelindung mata air, sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200 m di sekeliling mata air tersebut
e        Mempunyai ketinggian antara 500 m di pulau-pulau di mana pegunungan hanya sekitar 1000 mdpl dan 1000 m di atas permukaan atau lebih untuk pulau-pulau yang mempunyai gunung-gunung yang tinggi. Kawasan hutan yang memiliki ketinggian diatas 1000 mdpl juga perlu dilindungi karena memberi perlindungan bagi kawasan bawahannya. Contohnya, kawasan hutan dalam Cagar Alam Cycloop di Jayapura itu perlu dilindungi, hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah dan air permukaan.


Peta Pembagian Lahan di  Kota Jayapura Berdasarkan Ketinggian (Elevasi)


Peta Sebaran Hutan Lindung Kota Jayapura 

f   Guna keperluan/kepentingan khusus dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan kawasan lindung. Jadi dengan alasan khusus suatu kawasan bisa ditetapkan menjadi kawasan lindung oleh pemerintah. 
Syarat-syarat tersebut hanyalah kriteria umum, penetapan kawasan lindung dilihat berdasarkan fungsi dan peranannya yang akan dijabarkan secara spesifik dalam UU maupun Perda tentang Tata Ruang, ada kawasan yang memberikan perlindungan kepada kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam, pelestarian alam, cagar budaya dan kawasan rawan bencana.

2. Kawasan Penyangga (Buffer Zone)
Kriteria umum suatu lahan atau kawasan yang dapat ditetapkan sebagai kawasan penyangga adalah sebagai berikut :
a        Keadaan fisik areal memungkinkan untuk dilakukan budi daya secara ekonomis
b        Lokasi secara ekonomis mudah dikembangkan sebagai kawasan penyangga
c         Tidak merugikan segi-segi ekologi dan lingkungan hidup.
Kawasan penyangga atau zona buffer merupakan filter antara zona lindung dan zona budi daya, sehingga peruntukannya harus diatur secara baik agar aktivitas budi daya tidak merembet masuk sampai ke dalam zona perlindungan. Contohnya, kawasan Penyangga Cagar Alam Cycloop dipandang penting untuk dilindungi karena terdapat sumber mata air dan terdapat vegetasi yang endemik maupun non endemik yang dapat mensuplai oksigen bagi warga Kota dan Kabupaten Jayapura, sehingga saat ini pemerintah Kota Jayapura tengah menggodok Raperda tentang Perlindungan dan Pengelolaan Kawasan Penyangga Cagar Alam Cycloop. Apabila Perda ini telah dibahas dan ditetapkan, maka payung hukum ini bisa menjadi semacam filter untuk mencegah terjadinya kerusakan pada kawasan hutan dalam Cagar Alam Cycloop.

3. Kawasan Budi Daya Tanaman
Areal yang dapat dijadikan kawasan budi daya tanaman adalah areal yang bukan masuk dalam kawasan lindung.

4. Kawasan Pemukiman
Yang dapat dijadikan kawasan pemukiman pada prinsipnya adalah areal yang sama dengan kawasan budi daya tanaman, hanya saja lahan tersebut harus mempunyai kemiringan lereng sebaiknya antara 0 – 8 persen. Namun di Indonesia tidak semua daerah topografinya datar. Misalnya, di Kota Jayapura yang topografinya terdiri dari lereng dan perbukitan yang mempunyai kemiringan antara 0 – 40 %, tentu ada sebuah risiko tersendiri apabila dijadikan kawasan pemukiman, karena apabila kondisi tanahnya labil tanah longsor bisa saja terjadi.
Demikian pembahasan mengenai kriteria umum pembagian kawasan menurut peruntukannya. Dari pembahasan tersebut diharapkan pembangunan yang digalakan oleh pemerintah dan swasta bisa berpatokan pada zonasi kawasan yang tertera dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Selain itu pembangunan juga harus memperhatikan daya dukung lingkungan (carrying capacity), prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), keterkaitan ekosistem, serta keanekaragaman hayati (biodiversity).

         Sumber :
  • Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
  • UU No 26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang 

Minggu, 22 Juni 2014

Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan

Salah satu faktor penyebap terjadinya banjir di daerah perkotaan adalah berkurangnya kapasitas saluran drainase. Saluran drainase tidak mampu menampung debit banjir, sehingga banjir meluap menggenanggi rumah-rumah penduduk. Pertanyaannya kemudian, mengapa kapasitas saluran menjadi berkurang ? Untuk daerah perkotaan, kapasitas saluran drainase menurun lebih cenderung diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan (land use).
Karena tuntutan pembangunan, kawasan perkotaan akan terus berkembang dari waktu ke waktu, daerah yang selama ini menjadi daerah resapan air hujan bisa berubah menjadi kawasan terbangun (beton,aspal, bata,dll). Perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali membuat limpasan permukaan meningkat, otomatis debit sungai akan meningkat pula. Perubahan tata guna lahan dari kawasan tak terbangun menjadi kawasan terbangun tidak bisa dibendung, peningkatan jumlah penduduk pasti membutuhkan sarana pemukiman beserta fasilitas pendukungnya seperti jalan, jembatan, pusat bisnis dan perbelanjaan serta sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Untuk mengantisipasi terjadinya musibah banjir di kawasan perkotaan, aspek tata guna lahan perlu dipertimbangkan guna merumuskan sebuah sistem drainase yang berkelanjutan. Konsep dasar sistem drainase berkelanjutan adalah merencanakan sebuah sistem drainase yang menyesuaikan dengan perubahan tata guna lahan.
Bagaimana cara sebuah sistem drainase menyesuaikan dengan perubahan tata guna lahan ? Dalam merencanakan sebuah sistem drainase yang berkelanjutan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW Kota) dijadikan dasar atau patokan dalam perencanaan. Dalam RTRW Kota itu sudah ada pembagian peruntukan kawasan menurut fungsinya untuk jangka waktu tertentu, yakni fungsi budidaya dan fungsi lindung. Koefisien limpasannya (C) untuk rentang jangka waktu tertentu bisa diketahui dari peta RTRW Kota, sehingga bisa dijadikan dasar untuk memperkirakan debit banjir rencana untuk kala ulang tertentu, untuk dijadikan acuan dalam pembuatan rencana induk sistem drainase perkotaan. Untuk kala ulang, baik itu kala ulang hujan rencana atau kala ulang debit banjir rencana itu harus memperhatikan tipologi kota. Kala ulang untuk kota kecil tentu berbeda dengan kala ulang untuk kota besar, karena tata guna lahan di kota besar tentu lebih kompleks dibandingkan dengan tata guna lahan di kota kecil.

Tabel. Kala Ulang Berdasarkan Tipologi Kota
Tipologi Kota
Daerah Tangkapan Air (ha)

<10
10 -100
10 – 500
> 500
Kota Metropolitan
2 TH
2 – 5 TH
5 – 10 TH
10 – 25 TH
Kota Besar
2 TH
2 – 5 TH
2 – 5 TH
5 – 20 TH
Kota Sedang
2 TH
2 – 5 TH
2 – 5 TH
5 – 10 TH
Kota Kecil
2 TH
2 TH
2 TH
2 – 5 TH
            Sumber : DPU, 2002

Dalam membuat rencana induk sistem drainase terlebih dahulu dilakukan evaluasi terhadap keseluruhan sistem drainase yang sudah ada, mulai dari collector, saluran kuarter, tersier, sekunder, primer dan pembuang utama (sungai), apakah masih layak untuk menampung debit banjir atau tidak ? Apakah perlu dilakukan rehabilitasi ? Selanjutnya, dari RTRW Kota dan rencana pengembangan kota kedepan akan dianalisis kebutuhan sistem drainase untuk kurun waktu tertentu (jangka panjang).
Fungsi utama dari sebuah sistem drainase adalah mengalirkan limpasan permukaan yang berlebih agar tidak menimbulkan genangan (banjir). Sebuah sistem drainase yang baik harus direncanakan tidak untuk dapat menampung debit banjir jangka pendek, tapi juga untuk jangka waktu yang panjang. Artinya, sebuah sistem drainase yang baik adalah sebuah sistem yang berkelanjutan (sustainable).
Departemen PU membuat suatu ketentuan kebijakan tentang debit sungai akibat dampak perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai yaitu dengan menyatakan bahwa DAS boleh dikembangkan/dirubah fungsi lahannya dengan Q zero policy atau ∆Q = 0. Arti kebijakan ini adalah bila suatu lahan di DAS berubah maka debit sebelum dan sesudah lahan berubah tetap sama. Pembangunan di kawasan DAS boleh dilakukan tapi harus dilakukan sebuah upaya mengurangi limpasan permukaan akibat adanya pembangunan, agar tidak terjadi peningkatan yang drastis pada debit sungai. Untuk itu perlu ada sebuah kompensasi yang harus diberikan bagi lingkungan guna mengurangi jumlah limpasan permukaan yang berlebih, misalnya dengan menambah ruang terbuka hijau (RTH) yang dapat berfungsi sebagai daerah resapan air hujan, membuat sumur resapan (biopori), dll.

Sumber :
Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Tata Cara Pembuatan Rencana Induk Drainase Perkotaan
Kodoatie & Sjarief.,2008, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit Andi, Yogyakarta




Senin, 09 Juni 2014

Kriteria Perencanaan Hidrolika Saluran Drainase

Perencanaan hidrolika saluran itu harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut :
·  Karena alasan ekonomi penampang saluran harus dipakai penampang hidrolis terbaik, yaitu penampang dengan luas minimum tapi mampu membawa debit maksimum.
·  Bentuk penampang saluran bisa dipilih bentuk empat persegi panjang, trapesium, lingkaran, setengah lingkaran, atau kombinasi dari bentuk-bentuk tersebut. 
·  Hendaknya saluran dibuat dalam bentuk majemuk, terdiri dari saluran kecil dan saluran besar, guna mengurangi beban pemeliharaan.
·  Kecepatan maksimum aliran agar ditentukan tidak lebih besar dari kecepatan maksimum yang diijinkan sehingga tidak terjadi kerusakan. Kecepatan maksimum ditentukan oleh kekasaran dinding dan dasar. Untuk saluran tanah V = 0,7 m/dt. Pasangan batu kali V = 2 m/dt dan pasangan beton V = 3 m/dt.
·  Kecepatan minimum aliran agar ditentukan tidak lebih kecil dari pada kecepatan minimum yang diijinkan sehingga tidak terjadi pengendapan yang memungkinkan tumbuhnya tanaman air. Kecepatan yang dapat mencegah tumbuhnya tanaman air, yaitu Vmin = 0,6 m/det.
·  Saluran sebaiknya dibuat dengan lapisan atau pasangan yang dapat menahan erosi. Dengan alasan estetika saluran drainase pemukiman dan jalan raya sebaiknya dengan lapisan atau pasangan yang tahan erosi.
·  Saluran drainase yang berada dekat muara sungai dan terpengaruh pasang surut air laut, perlu diperhitungkan pasang surut air laut dalam perencanaan. Mengingat apabila terjadi pasang akan terjadi aliran balik (back water effect).
Sumber :
Wesli,Ir.,2008, Drainase Perkotaan, Graha Ilmu, Yogyakarta
Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Tata Cara Pembuatan Rencana Induk Drainase Perkotaan