Salah satu faktor penyebap terjadinya banjir di daerah perkotaan adalah
berkurangnya kapasitas saluran drainase. Saluran drainase tidak mampu menampung
debit banjir, sehingga banjir meluap menggenanggi rumah-rumah penduduk. Pertanyaannya
kemudian, mengapa kapasitas saluran menjadi berkurang ? Untuk daerah perkotaan,
kapasitas saluran drainase menurun lebih cenderung diakibatkan oleh perubahan
tata guna lahan (land use).
Karena tuntutan pembangunan, kawasan perkotaan akan terus berkembang dari
waktu ke waktu, daerah yang selama ini menjadi daerah resapan air hujan bisa
berubah menjadi kawasan terbangun (beton,aspal, bata,dll). Perubahan tata guna
lahan yang tidak terkendali membuat limpasan permukaan meningkat, otomatis debit
sungai akan meningkat pula. Perubahan tata guna lahan dari kawasan tak terbangun
menjadi kawasan terbangun tidak bisa dibendung, peningkatan jumlah penduduk
pasti membutuhkan sarana pemukiman beserta fasilitas pendukungnya seperti
jalan, jembatan, pusat bisnis dan perbelanjaan serta sarana dan prasarana
pendukung lainnya.
Untuk mengantisipasi terjadinya musibah banjir di kawasan perkotaan,
aspek tata guna lahan perlu dipertimbangkan guna merumuskan sebuah sistem
drainase yang berkelanjutan. Konsep dasar sistem drainase berkelanjutan adalah
merencanakan sebuah sistem drainase yang menyesuaikan dengan perubahan tata
guna lahan.
Bagaimana cara sebuah sistem drainase menyesuaikan dengan perubahan tata
guna lahan ? Dalam merencanakan sebuah sistem drainase yang berkelanjutan, Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW Kota) dijadikan dasar atau patokan dalam
perencanaan. Dalam RTRW Kota itu sudah ada pembagian peruntukan kawasan menurut
fungsinya untuk jangka waktu tertentu, yakni fungsi budidaya dan fungsi
lindung. Koefisien limpasannya (C) untuk rentang jangka waktu tertentu bisa
diketahui dari peta RTRW Kota, sehingga bisa dijadikan dasar untuk memperkirakan
debit banjir rencana untuk kala ulang tertentu, untuk dijadikan acuan dalam
pembuatan rencana induk sistem drainase perkotaan. Untuk kala ulang, baik itu
kala ulang hujan rencana atau kala ulang debit banjir rencana itu harus memperhatikan
tipologi kota. Kala ulang untuk kota kecil tentu berbeda dengan kala ulang untuk
kota besar, karena tata guna lahan di kota besar tentu lebih kompleks
dibandingkan dengan tata guna lahan di kota kecil.
Tabel. Kala Ulang Berdasarkan Tipologi Kota
Tipologi
Kota
|
Daerah
Tangkapan Air (ha)
|
|||
<10
|
10
-100
|
10
– 500
|
> 500
|
|
Kota Metropolitan
|
2 TH
|
2 – 5 TH
|
5 – 10 TH
|
10 – 25 TH
|
Kota Besar
|
2 TH
|
2 – 5 TH
|
2 – 5 TH
|
5 – 20 TH
|
Kota Sedang
|
2 TH
|
2 – 5 TH
|
2 – 5 TH
|
5 – 10 TH
|
Kota Kecil
|
2 TH
|
2 TH
|
2 TH
|
2 – 5 TH
|
Sumber : DPU, 2002
Dalam membuat rencana induk sistem drainase terlebih dahulu dilakukan
evaluasi terhadap keseluruhan sistem drainase yang sudah ada, mulai dari
collector, saluran kuarter, tersier, sekunder, primer dan pembuang utama
(sungai), apakah masih layak untuk menampung debit banjir atau tidak ? Apakah
perlu dilakukan rehabilitasi ? Selanjutnya, dari RTRW Kota dan rencana
pengembangan kota kedepan akan dianalisis kebutuhan sistem drainase untuk kurun
waktu tertentu (jangka panjang).
Fungsi utama dari sebuah sistem drainase adalah mengalirkan limpasan
permukaan yang berlebih agar tidak menimbulkan genangan (banjir). Sebuah sistem
drainase yang baik harus direncanakan tidak untuk dapat menampung debit banjir
jangka pendek, tapi juga untuk jangka waktu yang panjang. Artinya, sebuah
sistem drainase yang baik adalah sebuah sistem yang berkelanjutan (sustainable).
Departemen
PU membuat suatu ketentuan kebijakan tentang debit sungai akibat dampak
perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai yaitu dengan menyatakan bahwa
DAS boleh dikembangkan/dirubah fungsi lahannya dengan Q zero policy atau ∆Q = 0. Arti kebijakan ini adalah
bila suatu lahan di DAS berubah maka debit sebelum dan sesudah lahan berubah
tetap sama. Pembangunan di kawasan DAS boleh dilakukan tapi harus dilakukan
sebuah upaya mengurangi limpasan permukaan akibat adanya pembangunan, agar
tidak terjadi peningkatan yang drastis pada debit sungai. Untuk
itu perlu ada sebuah kompensasi yang harus diberikan bagi lingkungan guna mengurangi
jumlah limpasan permukaan yang berlebih, misalnya dengan menambah ruang terbuka
hijau (RTH) yang dapat berfungsi sebagai daerah resapan air hujan, membuat
sumur resapan (biopori), dll.
Sumber :
Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Tata Cara Pembuatan
Rencana Induk Drainase Perkotaan
Kodoatie & Sjarief.,2008,
Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit Andi, Yogyakarta
Bagus info nya,..bermanfaat sekali . ..
BalasHapus