Berdasarkan laporan BMKG,
saat ini 60% daerah di Indonesia telah memasuki musim penghujan. Ketika musim
penghujan tiba penduduk yang bermukim diatas bantaran sungai maupun kawasan rendah
yang sering menjadi langganan banjir mulai was-was dan bertindak antisipatif,
mengingat sewaktu-waktu rumah dan harta benda mereka terancam terendam banjir akibat
luapan sungai.
Salah satu penyebap utama
terjadinya banjir adalah perubahan tata guna lahan, khususnya perubahan tata
guna lahan di daerah aliran sungai (DAS). Mengapa demikian ?
Daerah aliran sungai (DAS)
perannya begitu vital, sebap DAS berfungsi menampung air yang berasal dari air
hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya
dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi
keseimbangan daerah tersebut; daerah sekitar sungai, meliputi punggung bukit
atau gunung yang merupakan tempat sumber air sampai dan semua curahan air hujan
yang mengalir ke sungai, sampai daerah dataran dan muara sungai.
Peran dan fungsi DAS
amatlah begitu penting bagi manusia, namun peran dan fungsi tersebut sering
kali tergganggu akibat perubahan tata guna lahan (land use), baik di hulu maupun hilir. Pertumbuhan penduduk dan
pembangunan yang begitu pesat membuat perubahan tata guna lahan marak terjadi.
Selain itu, di era desentralisasi dan otonomi daerah dimana kewenangan yang diberikan
pusat ke daerah lebih besar dalam hal perizinan tata guna lahan, marak sekali
terjadi perubahan fungsi kawasan DAS.
Perubahan fungsi lahan di
kawasan hulu DAS terutama dari hutan menjadi lahan pertanian budidaya dapat
berdampak pada berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan debit
maksimum-minimum (run off), erosi dan
sedimentasi. Jika debit limpasan permukaan maksimum, otomatis debit banjir di
sungai mengalami peningkatan dan apabila sungai tidak dapat menampung debit
tersebut, pasti air akan meluap dan menggenangi kawasan sekitarnya. Sedangkan
ketika debit minimum kekeringan akan terjadi, khususnya pada mata air yang
terdapat intake (bangunan penangkap air).
Apabila hutan di kawasan
DAS dibuka untuk kepentingan budidaya pertanian, industri, pembangunan
perumahan, perkantoran, kawasan bisnis maupun pembangunan sarana fisik lainnya
akan berdampak pada naiknya debit puncak dari 5 sampai 35 kali karena di DAS
tidak ada yang menahan maka aliran permukaan (run off) menjadi besar, sehingga berakibat pada meningkatnya debit
sungai.
Faktor
penutupan lahan (vegetasi) cukup signifikan dalam pengurangan ataupun
peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutup lahan
yang tinggi, sehingga apabila hujan turun ke kawasan hutan tersebut, faktor
penutup lahan ini akan memperlambat kecepatan aliran permukaan, bahkan bisa
terjadi kecepatannya mendekati nol. Ketika suatu kawasan hutan berubah menjadi
pemukiman, maka penutup lahan kawasan ini akan berubah menjadi penutup lahan
yang tidak mempunyai resistensi untuk menahan aliran. Yang terjadi ketika hujan
turun, kecepatan air akan meningkat tajam di atas lahan ini. Kawasan hutan di hulu
DAS kemiringannya besar (> 40%) dan apabila vegetasi yang bisa menghambat laju air
hujan yang run off hilang, maka
kecepatan air meningkat tajam dan cenderung bersifat destruktif (daya rusak air
meningkat). Hal terburuk yang mungkin bisa terjadi adalah banjir bandang, air
yang kecepatannya besar karena dipengaruhi kemiringan ketika meluncur bisa
menyeret batu-batu besar dan kayu gelondongan yang ada di sepanjang daerah
pengalirannya.
Untuk
mengurangi debit banjir yang diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan, perlu
dimasukan aturan mengenai zonasi kawasan dalam dokumen rencana tata ruang
(RUTR) provinsi maupun kabupaten/kota yang mengatur secara ketat dan tegas
tentang kawasan lindung dan budidaya. Selanjutnya fungsi dan peruntukan kawasan
yang tertuang dalam peta RUTR tersebut menjadi pedoman dalam melaksanakan
kegiatan pembangunan. Jika zonasi telah diatur secara jelas, gangguan pada zona
perlindungan bisa diminimalisir. Misalnya, kawasan hutan yang telah ditetapkan
sebagai kawasan lindung tidak boleh dirambah karena fungsinya memberikan
perlindungan kepada kawasan sekitar maupun kawasan bawahannya sebagai pengatur
tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
Departemen
PU telah membuat suatu kebijakan tentang debit sungai akibat dampak perubahan
tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS), dengan menyatakan bahwa DAS
boleh dikembangkan atau dirubah dengan delta Q zero policy atau ∆Q = 0. Arti kebijakan ini adalah bila suatu lahan
di DAS berubah maka debit di suatu titik harus tetap sama. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara kompensasi yaitu pada lahan pemukiman harus disisahkan
lahan untuk penahan run off akibat
perubahan seperti dengan membuat sumur resapan, penanaman rumput atau
semak-semak (tanaman) yang lebat, pembuatan embung, dll.
Mengapa sungai meluap dan
air menggenangi rumah-rumah penduduk yang berada diatas bantaran sungai ?
Karena terjadi peningkatan debit banjir, sementara kapasitas sungai tidak mampu
menampung debit tersebut. Hal ini tambah diperparah dengan menurunnya kapasitas
sungai atau waduk akibat sampah dan sedimentasi.
Dalam
usaha pengendalian banjir ada tiga faktor utama yang perlu diperhatikan yakni, intensitas
hujan, limpasan permukaan yang berlebih (meningkatnya debit banjir), dan
saluran (alami maupun buatan). Kemudian tinggal pilih, usaha pengendalian mana
yang lebih dikedepankan, apakah metode struktur atau non struktur. Metode non struktur
antara lain, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pengaturan tata guna lahan,
pengendalian erosi di DAS,dll. Sedangkan metode struktur antara lain; perbaikan
sistem jaringan drainase, sudetan, waduk, embung, kolam retensi, bangunan
pengurangan kemiringan sungai,dll. Apabila disederhanakan, inti masalahnya adalah
mengalirkan kelebihan air hujan di permukaan (run off) ke laut melalui jalurnya maka pilihannya seperti ini,
mengurangi debit limpasan permukaan (debit banjir) dengan memperbanyak daerah
resapan atau memperbanyak saluran (waduk, embung, spilway,dll) untuk menampung
debit banjir tersebut. Jika debit limpasan permukaan kecil karena sebagian
besar telah meresap ke dalam tanah, maka tidak perlu memperbanyak saluran.
Metode non struktur lebih murah dibandingkan struktur.
Melakukan
usaha pengendalian banjir di daerah pedesaan dengan menerapkan metode struktur
maupun non struktur bukanlah persoalan yang berarti, karena banyak lahan kosong
dan tata guna lahannya tidak serumit di daerah perkotaan. Sedangkan usaha
pengendalian banjir di perkotaan tidak semudah membalikan telapak tangan karena
banyak persoalan yang melilit, mulai dari budaya warga yang suka membuang
sampah di sungai, minimnya daerah resapan, pemukiman di bantaran sungai yang
padat dan kumuh, lahan yang terbatas untuk membangun bangunan pengendali
banjir. Dalam melaksanakan semua usaha pengendalian banjir tentu butuh dana
yang besar untuk keperluan pembebasan lahan, merelokasi warga yang bermukim diatas
bantaran sungai, dan untuk mendanai pekerjaan struktur.
Akhir
kata, perubahan tata guna lahan di kawasan DAS bukan sesuatu yang haram, asalkan tetap memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan.
Jika kita bersahabat dengan lingkungan dan tidak melakukan tindakan yang
bersifat destruktif, maka lingkungan juga akan bersahabat dan kita pun terhindar
dari musibah banjir, tanah longsor maupun kekeringan. (*)
Sumber Pustaka :
-
Kondoatie RJ &
Sjarief Roestam.,2008, Pengelolaan Sumber
Daya Air Terpadu, Penerbit ANDI,
Yogyakarta
-
Keppres No 32 Tahun
1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
-
UU No 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air