Makhluk hidup yang ada di
bumi ini tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan air, karena air merupakan
kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi ini. Air nilainya begitu berarti
bagi manusia. Sekitar 70% berat badan manusia terdiri dari air. Darah
mengandung 80% air, tulang 25%, urat syaraf 75%, ginjal 80%, hati 70%, otot
75%. Manusia akan mati bilamana kehilangan sekitar 15% dari berat badanya. Manusia
boleh menahan lapar untuk jangka waktu lama tetapi tidak dapat menahan haus
(dahaga) untuk beberapa jam karena dapat menyebapkan dehidrasi dan berakibat
fatal.
Manusia mendapatkan air
dari beberapa sumber air yang tersebar di bumi, seperti air hujan, air
permukaan (waduk, danau, sungai, empang, telaga, kali, parit,dll), dan air
tanah (sumur bor).
Melihat peran dan fungsi
air yang begitu vital bagi manusia, tentu kita tidak mengharapkan sumber-sumber
air dari segi kuantitas debitnya mengalami penurunan, dan dari segi kualitas mengalami
penurunan karena telah tercemar limbah, serta dari segi kontinuitas airnya
tidak tersedia secara berkesinambungan, dalam artian di musim penghujan ada air
sementara di musim panas airnya tidak ada sama sekali (kering).
Namun, kenyataannya pembangunan
yang dilakukan manusia selain memberi dampak positif juga memberi dampak
negatif. Ditakutkan dampak-dampak negatif yang timbul akibat adanya kegiatan
pembangunan akan mempengaruhi kelangsungan suatu sumber air. Misalnya,
aktivitas perambahan hutan di kawasan sekitar mata air akan berdampak pada
penurunan debit (kuantitas), limbah industri dan domestik yang tidak dikelola
dengan baik akan mencemari air tanah, polusi udara yang tinggi di kawasan
perkotaan mengakibatkan hujan asam,dll.
Menyadari adanya
dampak-dampak negatif yang timbul dari aktivitas pembangunan yang akan mempengaruhi
kelangsungan sumber air, maka dipandang perlu untuk melakukan upaya
perlindungan dan pelestarian sumber air. Upaya-upaya perlindungan sumber air
ditunjukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan
keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebapkan oleh daya alam,
termasuk kekeringan yang disebapkan oleh manusia. Upaya-upaya tersebut
dijelaskan dalam bagan (chart) di
bawah ini :
Perlindungan dan
pelestarian sumber air dapat dilaksanakan secara vegetatif maupun teknis. Cara
vegetatif misalnya, melakukan penanaman vegetasi di sekitar daerah tangkapan
air atau daerah sempadan sumber air, pembuatan lubang biopori untuk resapan air.
Cara teknis misalnya, membangun bangunan pengendali sedimen (check dam), perkuatan tebing sumber air
(memasang talud/bronjongan). Usaha perlindungan dan pelestarian sumber air yang
dilakukan secara vegetatif dan teknis diharapkan harus memperhatikan kondisi
budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat.
Upaya perlindungan dan
pelestarian sumber air dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan. Kawasan-kawasan
sumber air dipetakan dan dimasukan dalam arahan penatagunaan lahan (arahan
sempadan), untuk dijadikan pedoman bagi pelaku pembangunan atau pihak-pihak
yang hendak membangun di kawasan sekitar sumber air, sehingga fungsi sumber air
tidak terganggu.
Contohnya, di daerah
perbukitan terdapat beberapa mata air yang merupakan sumber air bagi masyarakat,
sementara lahan di sekitar mata air tersebut akan dibangun kawasan hunian
penduduk (perumahan). Sebelum dibangun jarak dari mata air ke lokasi
pembangunan itu harus dilihat baik, dimana dalam Keppres No 32 Tahun 1990 disebutkan
bahwa, kriteria kawasan sekitar mata air adalah sekuarang-kurangnya dengan
jari-jari 200 meter di sekitar mata air. Jika jarak kurang dari 200 meter maka,
pembangunan harus dihentikan karena ditakutkan akan menggangu fungsi mata air.
Bukan hanya itu, sebelum melakukan pembangunan developer harus melewati tahapan perizinan pembangunan (instrumen
hukum) seperti yang tertera dalam UU No 32/2009 (UU PPLH), meliputi Kajian
Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang kaitannya dengan RTRW setempat, Amdal,
izin lingkungan, izin lokasi, hinder ordonantie (HO) atau izin gangguan,
pembuangan air limbah dan IMB.
Contoh lainnya,
pembangunan di kawasan perkotaan yang padat harus memperhatikan daerah resapan
guna mengurangi limpasan permukaan. Jangan seluruh arealnya dipenuhi beton
(hutan beton), harus ada proporsi yang seimbang antara kawasan hijau dan non
hijau. Daerah resapan ini merupakan tempat meresapnya (lubang masuk) air hujan kedalam
lajur freatik yang nantinya akan digunakan sebagai sumber air bawah tanah
(sumur bor).
Selain itu, pemakaian air
bawah tanah (ABT) sebagai sumber air di wilayah perkotaan juga harus
dikendalikan, dimana pengisian (recharge)
air melalui pori-pori tanah harus sebanding dengan pemakaian (penyedotan). pemakaian
secara ekspolitatif harus dihindari, karena bisa berdampak pada amblesnya tanah
(subsidence) akibat adanya ruang kosong (space) dalam lapisan tanah. Subsidence dapat menggangu ketahanan
pondasi bangunan.
Perlindungan dan
pelestarian sumber air merupakan tanggung jawab semua pihak. Sumber daya air
bak dua sisi mata uang yang berbeda, di satu sisi jika kita mengelola sumber
daya yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa ini dengan bijak, tentu kita mendapat manfaat
yang akan dirasakan secara berkesinambungan. Sedangkan di sisi lain, jika kita salah
mengelola sumber daya air tentu kita akan menuai malapetaka, seperti bencana
banjir, tanah longsor, kekeringan, dll. (*)
Sumber :
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air