Minggu, 22 Juni 2014

Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan

Salah satu faktor penyebap terjadinya banjir di daerah perkotaan adalah berkurangnya kapasitas saluran drainase. Saluran drainase tidak mampu menampung debit banjir, sehingga banjir meluap menggenanggi rumah-rumah penduduk. Pertanyaannya kemudian, mengapa kapasitas saluran menjadi berkurang ? Untuk daerah perkotaan, kapasitas saluran drainase menurun lebih cenderung diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan (land use).
Karena tuntutan pembangunan, kawasan perkotaan akan terus berkembang dari waktu ke waktu, daerah yang selama ini menjadi daerah resapan air hujan bisa berubah menjadi kawasan terbangun (beton,aspal, bata,dll). Perubahan tata guna lahan yang tidak terkendali membuat limpasan permukaan meningkat, otomatis debit sungai akan meningkat pula. Perubahan tata guna lahan dari kawasan tak terbangun menjadi kawasan terbangun tidak bisa dibendung, peningkatan jumlah penduduk pasti membutuhkan sarana pemukiman beserta fasilitas pendukungnya seperti jalan, jembatan, pusat bisnis dan perbelanjaan serta sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Untuk mengantisipasi terjadinya musibah banjir di kawasan perkotaan, aspek tata guna lahan perlu dipertimbangkan guna merumuskan sebuah sistem drainase yang berkelanjutan. Konsep dasar sistem drainase berkelanjutan adalah merencanakan sebuah sistem drainase yang menyesuaikan dengan perubahan tata guna lahan.
Bagaimana cara sebuah sistem drainase menyesuaikan dengan perubahan tata guna lahan ? Dalam merencanakan sebuah sistem drainase yang berkelanjutan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota (RTRW Kota) dijadikan dasar atau patokan dalam perencanaan. Dalam RTRW Kota itu sudah ada pembagian peruntukan kawasan menurut fungsinya untuk jangka waktu tertentu, yakni fungsi budidaya dan fungsi lindung. Koefisien limpasannya (C) untuk rentang jangka waktu tertentu bisa diketahui dari peta RTRW Kota, sehingga bisa dijadikan dasar untuk memperkirakan debit banjir rencana untuk kala ulang tertentu, untuk dijadikan acuan dalam pembuatan rencana induk sistem drainase perkotaan. Untuk kala ulang, baik itu kala ulang hujan rencana atau kala ulang debit banjir rencana itu harus memperhatikan tipologi kota. Kala ulang untuk kota kecil tentu berbeda dengan kala ulang untuk kota besar, karena tata guna lahan di kota besar tentu lebih kompleks dibandingkan dengan tata guna lahan di kota kecil.

Tabel. Kala Ulang Berdasarkan Tipologi Kota
Tipologi Kota
Daerah Tangkapan Air (ha)

<10
10 -100
10 – 500
> 500
Kota Metropolitan
2 TH
2 – 5 TH
5 – 10 TH
10 – 25 TH
Kota Besar
2 TH
2 – 5 TH
2 – 5 TH
5 – 20 TH
Kota Sedang
2 TH
2 – 5 TH
2 – 5 TH
5 – 10 TH
Kota Kecil
2 TH
2 TH
2 TH
2 – 5 TH
            Sumber : DPU, 2002

Dalam membuat rencana induk sistem drainase terlebih dahulu dilakukan evaluasi terhadap keseluruhan sistem drainase yang sudah ada, mulai dari collector, saluran kuarter, tersier, sekunder, primer dan pembuang utama (sungai), apakah masih layak untuk menampung debit banjir atau tidak ? Apakah perlu dilakukan rehabilitasi ? Selanjutnya, dari RTRW Kota dan rencana pengembangan kota kedepan akan dianalisis kebutuhan sistem drainase untuk kurun waktu tertentu (jangka panjang).
Fungsi utama dari sebuah sistem drainase adalah mengalirkan limpasan permukaan yang berlebih agar tidak menimbulkan genangan (banjir). Sebuah sistem drainase yang baik harus direncanakan tidak untuk dapat menampung debit banjir jangka pendek, tapi juga untuk jangka waktu yang panjang. Artinya, sebuah sistem drainase yang baik adalah sebuah sistem yang berkelanjutan (sustainable).
Departemen PU membuat suatu ketentuan kebijakan tentang debit sungai akibat dampak perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai yaitu dengan menyatakan bahwa DAS boleh dikembangkan/dirubah fungsi lahannya dengan Q zero policy atau ∆Q = 0. Arti kebijakan ini adalah bila suatu lahan di DAS berubah maka debit sebelum dan sesudah lahan berubah tetap sama. Pembangunan di kawasan DAS boleh dilakukan tapi harus dilakukan sebuah upaya mengurangi limpasan permukaan akibat adanya pembangunan, agar tidak terjadi peningkatan yang drastis pada debit sungai. Untuk itu perlu ada sebuah kompensasi yang harus diberikan bagi lingkungan guna mengurangi jumlah limpasan permukaan yang berlebih, misalnya dengan menambah ruang terbuka hijau (RTH) yang dapat berfungsi sebagai daerah resapan air hujan, membuat sumur resapan (biopori), dll.

Sumber :
Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Tata Cara Pembuatan Rencana Induk Drainase Perkotaan
Kodoatie & Sjarief.,2008, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit Andi, Yogyakarta




1 komentar: