Sabtu, 30 November 2013

Pengaruh Jenis Tanah Terhadap Kuantitas Resapan

Salah satu permasalahan yang sering terjadi ketika banjir adalah banyak genangan air yang dibarengi dengan lamanya durasi waktu yang dibutuhkan agar genangan tersebut surut. Hal ini terjadi karena kuantitas resapan menjadi kecil akibat diatas tanah yang dulunya bisa meresap air, kini berubah menjadi bangunan permanen yang kedap air. Bukan hanya itu saja, jenis tanah juga turut mempengaruhi kuantitas resapan air kedalam tanah.

Lempung (clay) kuantitas resapannya sangat kecil, karena memiliki konduktivitas hidraulik sangat kecil berkisar antara 1/1.000.000.000.000 m/detik (10-12 sampai 10-9 m/detik)

Kecepatan air yang meresap ke dalam tanah tergantung dari jenis tanahnya. Bila jenis tanahnya lempung yang pori-porinya rapat tentu kuantitas resapannya kecil, dibandingkan dengan pasir yang berbutir halus serta tidak terkonsolidasi dengan rapat. Kuantitas suatu jenis tanah tergantung dari konduktivitas hidaruliknya. Untuk jenis tanah lempung (clay), kecepatan aliran (konduktivitas hidraulik) sangat kecil berkisar antara 1/1.000.000.000.000 m/detik (10-12 sampai 10-9 m/detik), sedangkan bila jenis tanah lanau (silt) maka kecepatan aliran berkisar antara 1/100.000.000 – 1/10.000 m/detik (10-8 sampai 10-4 m/detik). Bila jenisnya pasir maka kecepatan aliran berkisar antara 1/100.000 – 1/100 m/detik (10-5 sampai 10-2 m/detik). Untuk mengetahui kecepatan aliran suatu jenis tanah (sampel tanah) dan kemampuannya menyerap maupun memindahkan air, biasanya digunakan alat sederhana yang namanya Tensiometer dan alat ini sering terdapat di laboratorium tanah atau balai pengujian.
Untuk mengurangi genangan di permukaan tanah, metode teknis yang lazim digunakan yakni membuat sumur resapan guna mempercepat air meresap ke dalam tanah. Mengenai pergerakan air kedalam tanah dan persamaan-persamaan yang mendasarinya, sudah dibahas pada pembahasan sebelumnya mengenai pergerakan air tanah (bisa dibaca disini).

Sumber Pustaka :
           -   
  • Kondoatie RJ & Sjarief Roestam.,2008, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit ANDI, Yogyakarta
  • Linsley JR. RK., et. all., 1982, Hidrologi untuk Insinyur, McGraw-Hill, Inc./ Ir. Yandy Hermawan (alih bahasa)/Penerbit Aerlangga, 1996.




Jumat, 29 November 2013

Peranan Tumbuh-tumbuhan dalam Mengurangi dan Menghambat Laju Limpasan Permukaan

Salah satu faktor dari sekian faktor penyebap terjadinya banjir di daerah hilir DAS adalah maraknya aktivitas penebangan pohon yang tak terkendali dalam kawasan hutan di hulu DAS. Hal ini sangat disayangkan karena pepohonan yang tumbuh dalam suatu kawasan hutan sangat berperan dalam mengurangi dan menghambat laju limpasan permukaan, sehingga ancaman erosi, tanah longsor, banjir serta sedimentasi yang berdampak pada pendangkalan sungai bisa diminimalisir.
Tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dalam suatu kawasan hutan yang tidak terganggu sangat berperan dalam mengurangi dan menghambat laju limpasan permukaan, sehingga dampak negatif yang timbul akibat besarnya jumlah dan kecepatan limpasan permukaan dapat dicegah ataupun diminimalisir sifat destruktifnya.
Hujan yang turun diatas kawasan ekosistem hutan sampainya ke permukaan tanah akan ditahan dan dihambat oleh daun-daunan dan ranting-ranting pohon yang tinggi di kawasan itu sehingga permukaan tanah akan terlindung dari timpaan-timpaan titik-titik hujan yang berdaya tumbuk (energi kinetik) berat. Air hujan yang tertahan oleh daun-daun dan ranting-ranting tersebut sampainya ke permukaan tanah kebanyakan mengalir ke bawah mengikuti batang-batang pohon sehingga daya tumbuknya dapat dikatakan relatif sangat lemah.
Sedangkan tanaman-tanaman rendah, seperti semak belukar dan rumput-rumputan dibawah pohon-pohon yang tinggi itu yang menutupi permukaan tanah, maka air tak berdaya menghancurkan agregat-agregat tanah menjadi partikel-partikel yang kecil. Sebagian air yang berinfiltrasi ke dalam tanah setelah diisap oleh akar-akar tanaman ada yang ditranspirasikan (diuapkan kembali) dan yang masih tertahan di sekitar permukaan tanah sebagian mengalir secara lambat memasuki sungai yang ada di sekitar kawasan tersebut.
Tutupan lahan sangat berpengaruh terhadap jumlah dan kecepatan limpasan permukaan. Berikut disajikan hubungan antara kondisi lahan dengan jumlah massa air permukaan dan jumlah massa tanah yang tererosi pada tabel di bawah ini.

Tebel Hubungan antara kondisi lahan dengan jumlah air permukaan dan jumlah massa tanah yang tererosi (Benner, 1939)
Kondisi Tetumbuhan
Massa tanah yang tererosi (ton/acre)
Persentase air permukaan dari curah hujan (%)
Hutan lebat
0,00
0,12
Rumput
0,04
6,50
Ladang (tanah gembur)
73,20
41,95
Lahan gundul (tanah padat)
69,00
48,80

Melihat data yang disajikan dalam tabel diatas, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika hutan menjadi gundul ? Jika hutan menjadi gundul jumlah dan daya air hujan yang mengalir diatas permukan tanah akan meningkat cukup signifikan, sehingga potensi terjadinya erosi, banjir, dan tanah longsor serta pendangkalan sungai akibat sedimentasi akan semakin besar. Ketika suatu lahan merupakan hutan lebat presentase air hujan yang run off sekitar 0,12%, kondisi tersebut sangat bertolak belakang apabila suatu lahan dalam kondisi gundul, karena limpasan permukaan (run off) naik menjadi 48,80 %.

Jumlah dan Kecepatan Limpasan Permukaan (Run Off) akan Meningkat Apabila Suatu Lahan dalam Kondisi Gundul

Tumbuh-tumbuhan dalam suatu kawasan hutan mempunyai peranan dalam mengurangi dan menghambat laju lmpasan permukaan. Tentu situasinya akan sangat kontras apabila suatu lahan dalam kondisi gundul, karena jumlah air hujan yang run off (mengalir diatas permukaan) akan meningkat signifikan dan kecepatan air  pun bertambah, dimana kecepatannya berkisar antara dari 0,1 – 1 m/detik bahkan bisa mencapai lebih dari 10 m/detik tergantung dari kemiringan lahan, tinggi aliran dan penutup lahan, sehingga peluang terjadinya erosi dan banjir sangat besar.


Melihat peran tersebut, maka sangat penting untuk menjaga kelestarian hutan, secara khusus hutan di kawasan hulu DAS. Lahan-lahan  yang sudah terlanjur gundul atau dalam kondisi kritis perlu dihijaukan kembali (reboisasi) guna meminimalisir dampak-dampak negatif yang mungkin akan terjadi terhadap kawasan hutan di hulu DAS itu sendiri maupun kawasan bawahannya, baik yang sifatnya jangka pendek maupun jangka panjang. Diharapkan setiap aktivitas pembangunan, perladangan, maupun usaha perkayuan (HPH) memperhatikan zonasi dan fungsi kawasan yang tertera dalam RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) provinsi/kabupaten/kota. Jika suatu kawasan hutan telah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan, maka harus bersih dari kegiatan budidaya yang sifatnya dapat menganggu fungsi lindung.  (*)

Sumber :
-          Rahim, SE. 2012. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi Aksra. Jakarta


Sabtu, 23 November 2013

Menduga Limpasan Permukaan dengan Metode Rasional

A. Defenisi Limpasan Permukaan

Limpasan permukaan merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah. Jumlah air yang menjadi limpasan sangat bergantung kepada jumlah air hujan per satuan waktu (intensitas), keadaan penutupan tanah, topografi (terutama kemiringan lereng), jenis tanah, dan ada atau tidaknya hujan yang terjadi sebelumnya (kadar air tanah sebelum terjadinya hujan). Sedangkan jumlah dan kecepatan limpasan permukaan bergantung kepada luas areal tangkapan, koefisien run off dan intensitas hujan maksimum.
Mengapa perlu dilakukan pendugaan terhadap limpasan permukaan ? Karena limpasan permukaan dengan jumlah dan kecepatan yang besar sering menyebapkan pemindahan atau pengangkutan massa tanah secara besar-besaran dan berujung pada terjadinya musibah banjir di daerah yang rendah, terutama daerah yang merupakan dataran banjir (flood plain).
Atas alasan tersebut jumlah limpasan sangat penting untuk diketahui. Adapun tujuannya yakni ;
1        Untuk merancang jumlah dan dimensi saluran atau struktur lainnya dalam rangka menyimpan limpasan permukaan;
2        Untuk mengetahui besarnya laju limpasan permukaan di suatu daerah yang digunakan sebagai dasar untuk antisipasi penanganannya.

Informasi dasar yang dibutuhkan dalam melakukan pendugaan yaitu :
1        Jumlah keseluruhan air hujan yang mungkin jatuh, katakanlah setiap tahunnya. Sebaiknya data tersebut bersumber dari data iklim untuk periode ulang yang lama, misalnya 30 tahun ke atas;
2        Laju maksimum limpasan permukaan yang mungkin terjadi

B. Pendugaan Limpasan Permukaan
Pendugaan limpasan permukaan bergantung pada tiga faktor yakni,
1.      Jumlah maksimum curah hujan per satuan waktu (intensitas maksimum);
2.      Curah hujan yang menjadi limpasan permukaan (nilai faktor limpasan permukaan). Besarnya nilai faktor ini bergantung kepada topografi, kemiringan lereng, tekstur tanah, dan juga bergantung kepada tipe penutupan tanah serta pengelolaannya;
3.      Luas areal tangkapan (catchment area).

Dalam pendugaan laju puncak limpasan permukaan setidaknya ada tiga metode yang umum digunakan yakni, metode Rasional, metode Cook, dan metode USSCS (Biro Pelayanan Konservasi Tanah Amerika). Namun, kali ini kita hanya akan menduga limpasan permukaan dengan menggunakan metode Rasional yang merupakan rumus empiris yang paling tua dan sering digunakan. Rumusnya sebagai berikut :

Q (m3/dt) = 0,278 C x I x A
Dimana :
C= Koefisien limpasan
I = intensitas maksimum (mm/jam)
A= luas areal (hektare)

C. Contoh Soal Pendugaan Limpasan Permukaan
Pembangunan umumnya mempunyai dampak terhadap lingkungan, salah satunya dampak terhadap kondisi hidrologi di suatu kawasan yakni terjadi kenaikan pada debit limpasan permukaan. Berikut contoh soal dan jawabannya mengenai pendugaan limpasan permukaan yang dijelaskan dan diselesaikan secara garis besar. 

Contoh soal :
Di suatu daerah tangkapan seluas 20 hektare akan dibangun pusat bisnis dan perkantoran. Sebelum dibangun kawasan ini sebelumnya berupa hutan primer, dimana nilai koefisien limpasan permukaan (Ctp – C tanpa proyek) 0,30 (topografi datar dan tanahnya bertekstur liat dan lempung berdebu). Jika ketika telah selesai dibangun, 50% areal tersebut akan tertutup oleh permukaan kedap air (bangunan,aspal, beton,dll) maka Cdp (C dengan proyek) adalah 0,55. Apabila intensitas hujan sama, katakanlah 70 mm/jam dan luas areal tetap sama 20 hektare maka limpasan permukaan sesudah dan sebelum proyek adalah sebagai berikut :

         ·            Limpasan Permukaan Tanpa Proyek :
Q = 0,278 x C (tanpa proyek) x I x A
    = 0,278 x 0,30 x 70 x 20
    = 116,76 m3/dt
         ·            Limpasan Permukaan Dengan Proyek :
Q = 0,278 x C (dengan proyek) x I x A
    = 0,278 x 0,55 x 70 x 20
    = 214,06 m3/dt
         ·            Selisih debit
Q = Qdp – Qtp
= 214,06 – 116,76  
= 97,3 m3/dt

Dari perhitungan tersebut terlihat bahwa sebelum ada proyek (masih hutan primer) debit limpasan permukaan adalah 116,76 m3/dt dan setelah dilakukan pembangunan debit puncak limpasan permukaan menjadi 214,06 m3/dt. Artinya, terjadi kenaikan sebesar 97,3 m3/dt dari debit sebelum ada proyek (hutan primer). Hasil pendugaan ini nantinya dijadikan acuan dalam membuat saluran drainase agar kapasitasnya melebihi potensi banjir yang dapat terjadi (debit banjir maksimum). Langkah-langkah proses pendugaan limpasan permukaan tersebut digambarkan dalam bagan di bawah ini :




Sumber :
-          Rahim, SE. 2012. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan Hidup. Bumi Aksara. Jakarta

-          Wesli,Ir.,2008, Drainase Perkotaan, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Kamis, 21 November 2013

Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan di Kawasan DAS Terhadap Peningkatan Debit Banjir

Berdasarkan laporan BMKG, saat ini 60% daerah di Indonesia telah memasuki musim penghujan. Ketika musim penghujan tiba penduduk yang bermukim diatas bantaran sungai maupun kawasan rendah yang sering menjadi langganan banjir mulai was-was dan bertindak antisipatif, mengingat sewaktu-waktu rumah dan harta benda mereka terancam terendam banjir akibat luapan sungai.
Salah satu penyebap utama terjadinya banjir adalah perubahan tata guna lahan, khususnya perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS). Mengapa demikian ?
Daerah aliran sungai (DAS) perannya begitu vital, sebap DAS berfungsi menampung air yang berasal dari air hujan dan sumber-sumber air lainnya yang penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut; daerah sekitar sungai, meliputi punggung bukit atau gunung yang merupakan tempat sumber air sampai dan semua curahan air hujan yang mengalir ke sungai, sampai daerah dataran dan muara sungai.
Peran dan fungsi DAS amatlah begitu penting bagi manusia, namun peran dan fungsi tersebut sering kali tergganggu akibat perubahan tata guna lahan (land use), baik di hulu maupun hilir. Pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang begitu pesat membuat perubahan tata guna lahan marak terjadi. Selain itu, di era desentralisasi dan otonomi daerah dimana kewenangan yang diberikan pusat ke daerah lebih besar dalam hal perizinan tata guna lahan, marak sekali terjadi perubahan fungsi kawasan DAS.
Perubahan fungsi lahan di kawasan hulu DAS terutama dari hutan menjadi lahan pertanian budidaya dapat berdampak pada berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya perbedaan debit maksimum-minimum (run off), erosi dan sedimentasi. Jika debit limpasan permukaan maksimum, otomatis debit banjir di sungai mengalami peningkatan dan apabila sungai tidak dapat menampung debit tersebut, pasti air akan meluap dan menggenangi kawasan sekitarnya. Sedangkan ketika debit minimum kekeringan akan terjadi, khususnya pada mata air yang terdapat intake (bangunan penangkap air).
Apabila hutan di kawasan DAS dibuka untuk kepentingan budidaya pertanian, industri, pembangunan perumahan, perkantoran, kawasan bisnis maupun pembangunan sarana fisik lainnya akan berdampak pada naiknya debit puncak dari 5 sampai 35 kali karena di DAS tidak ada yang menahan maka aliran permukaan (run off) menjadi besar, sehingga berakibat pada meningkatnya debit sungai.
Faktor penutupan lahan (vegetasi) cukup signifikan dalam pengurangan ataupun peningkatan aliran permukaan. Hutan yang lebat mempunyai tingkat penutup lahan yang tinggi, sehingga apabila hujan turun ke kawasan hutan tersebut, faktor penutup lahan ini akan memperlambat kecepatan aliran permukaan, bahkan bisa terjadi kecepatannya mendekati nol. Ketika suatu kawasan hutan berubah menjadi pemukiman, maka penutup lahan kawasan ini akan berubah menjadi penutup lahan yang tidak mempunyai resistensi untuk menahan aliran. Yang terjadi ketika hujan turun, kecepatan air akan meningkat tajam di atas lahan ini. Kawasan hutan di hulu DAS kemiringannya besar (> 40%) dan apabila vegetasi yang bisa menghambat laju air hujan yang run off hilang, maka kecepatan air meningkat tajam dan cenderung bersifat destruktif (daya rusak air meningkat). Hal terburuk yang mungkin bisa terjadi adalah banjir bandang, air yang kecepatannya besar karena dipengaruhi kemiringan ketika meluncur bisa menyeret batu-batu besar dan kayu gelondongan yang ada di sepanjang daerah pengalirannya.
Untuk mengurangi debit banjir yang diakibatkan oleh perubahan tata guna lahan, perlu dimasukan aturan mengenai zonasi kawasan dalam dokumen rencana tata ruang (RUTR) provinsi maupun kabupaten/kota yang mengatur secara ketat dan tegas tentang kawasan lindung dan budidaya. Selanjutnya fungsi dan peruntukan kawasan yang tertuang dalam peta RUTR tersebut menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan pembangunan. Jika zonasi telah diatur secara jelas, gangguan pada zona perlindungan bisa diminimalisir. Misalnya, kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai kawasan lindung tidak boleh dirambah karena fungsinya memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun kawasan bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.
Departemen PU telah membuat suatu kebijakan tentang debit sungai akibat dampak perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS), dengan menyatakan bahwa DAS boleh dikembangkan atau dirubah dengan delta Q zero policy atau ∆Q = 0. Arti kebijakan ini adalah bila suatu lahan di DAS berubah maka debit di suatu titik harus tetap sama. Hal ini dapat dilakukan dengan cara kompensasi yaitu pada lahan pemukiman harus disisahkan lahan untuk penahan run off akibat perubahan seperti dengan membuat sumur resapan, penanaman rumput atau semak-semak (tanaman) yang lebat, pembuatan embung, dll.
Mengapa sungai meluap dan air menggenangi rumah-rumah penduduk yang berada diatas bantaran sungai ? Karena terjadi peningkatan debit banjir, sementara kapasitas sungai tidak mampu menampung debit tersebut. Hal ini tambah diperparah dengan menurunnya kapasitas sungai atau waduk akibat sampah dan sedimentasi.
Dalam usaha pengendalian banjir ada tiga faktor utama yang perlu diperhatikan yakni, intensitas hujan, limpasan permukaan yang berlebih (meningkatnya debit banjir), dan saluran (alami maupun buatan). Kemudian tinggal pilih, usaha pengendalian mana yang lebih dikedepankan, apakah metode struktur atau non struktur. Metode non struktur antara lain, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), pengaturan tata guna lahan, pengendalian erosi di DAS,dll. Sedangkan metode struktur antara lain; perbaikan sistem jaringan drainase, sudetan, waduk, embung, kolam retensi, bangunan pengurangan kemiringan sungai,dll. Apabila disederhanakan, inti masalahnya adalah mengalirkan kelebihan air hujan di permukaan (run off) ke laut melalui jalurnya maka pilihannya seperti ini, mengurangi debit limpasan permukaan (debit banjir) dengan memperbanyak daerah resapan atau memperbanyak saluran (waduk, embung, spilway,dll) untuk menampung debit banjir tersebut. Jika debit limpasan permukaan kecil karena sebagian besar telah meresap ke dalam tanah, maka tidak perlu memperbanyak saluran. Metode non struktur lebih murah dibandingkan struktur.
Melakukan usaha pengendalian banjir di daerah pedesaan dengan menerapkan metode struktur maupun non struktur bukanlah persoalan yang berarti, karena banyak lahan kosong dan tata guna lahannya tidak serumit di daerah perkotaan. Sedangkan usaha pengendalian banjir di perkotaan tidak semudah membalikan telapak tangan karena banyak persoalan yang melilit, mulai dari budaya warga yang suka membuang sampah di sungai, minimnya daerah resapan, pemukiman di bantaran sungai yang padat dan kumuh, lahan yang terbatas untuk membangun bangunan pengendali banjir. Dalam melaksanakan semua usaha pengendalian banjir tentu butuh dana yang besar untuk keperluan pembebasan lahan, merelokasi warga yang bermukim diatas bantaran sungai, dan untuk mendanai pekerjaan struktur.
Akhir kata, perubahan tata guna lahan di kawasan DAS bukan sesuatu yang haram, asalkan tetap memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Jika kita bersahabat dengan lingkungan dan tidak melakukan tindakan yang bersifat destruktif, maka lingkungan juga akan bersahabat dan kita pun terhindar dari musibah banjir, tanah longsor maupun kekeringan. (*)

Sumber Pustaka :
           -           Kondoatie RJ & Sjarief Roestam.,2008, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit ANDI, Yogyakarta
           -           Keppres No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
           -           UU No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air


Senin, 28 Oktober 2013

Perlindungan dan Pelestarian Sumber Air

Makhluk hidup yang ada di bumi ini tidak dapat terlepas dari kebutuhan akan air, karena air merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi ini. Air nilainya begitu berarti bagi manusia. Sekitar 70% berat badan manusia terdiri dari air. Darah mengandung 80% air, tulang 25%, urat syaraf 75%, ginjal 80%, hati 70%, otot 75%. Manusia akan mati bilamana kehilangan sekitar 15% dari berat badanya. Manusia boleh menahan lapar untuk jangka waktu lama tetapi tidak dapat menahan haus (dahaga) untuk beberapa jam karena dapat menyebapkan dehidrasi dan berakibat fatal.
Manusia mendapatkan air dari beberapa sumber air yang tersebar di bumi, seperti air hujan, air permukaan (waduk, danau, sungai, empang, telaga, kali, parit,dll), dan air tanah (sumur bor).
Melihat peran dan fungsi air yang begitu vital bagi manusia, tentu kita tidak mengharapkan sumber-sumber air dari segi kuantitas debitnya mengalami penurunan, dan dari segi kualitas mengalami penurunan karena telah tercemar limbah, serta dari segi kontinuitas airnya tidak tersedia secara berkesinambungan, dalam artian di musim penghujan ada air sementara di musim panas airnya tidak ada sama sekali (kering).
Namun, kenyataannya pembangunan yang dilakukan manusia selain memberi dampak positif juga memberi dampak negatif. Ditakutkan dampak-dampak negatif yang timbul akibat adanya kegiatan pembangunan akan mempengaruhi kelangsungan suatu sumber air. Misalnya, aktivitas perambahan hutan di kawasan sekitar mata air akan berdampak pada penurunan debit (kuantitas), limbah industri dan domestik yang tidak dikelola dengan baik akan mencemari air tanah, polusi udara yang tinggi di kawasan perkotaan mengakibatkan hujan asam,dll.
Menyadari adanya dampak-dampak negatif yang timbul dari aktivitas pembangunan yang akan mempengaruhi kelangsungan sumber air, maka dipandang perlu untuk melakukan upaya perlindungan dan pelestarian sumber air. Upaya-upaya perlindungan sumber air ditunjukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaannya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebapkan oleh daya alam, termasuk kekeringan yang disebapkan oleh manusia. Upaya-upaya tersebut dijelaskan dalam bagan (chart) di bawah ini :


Perlindungan dan pelestarian sumber air dapat dilaksanakan secara vegetatif maupun teknis. Cara vegetatif misalnya, melakukan penanaman vegetasi di sekitar daerah tangkapan air atau daerah sempadan sumber air, pembuatan lubang biopori untuk resapan air. Cara teknis misalnya, membangun bangunan pengendali sedimen (check dam), perkuatan tebing sumber air (memasang talud/bronjongan). Usaha perlindungan dan pelestarian sumber air yang dilakukan secara vegetatif dan teknis diharapkan harus memperhatikan kondisi budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat.
Upaya perlindungan dan pelestarian sumber air dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan. Kawasan-kawasan sumber air dipetakan dan dimasukan dalam arahan penatagunaan lahan (arahan sempadan), untuk dijadikan pedoman bagi pelaku pembangunan atau pihak-pihak yang hendak membangun di kawasan sekitar sumber air, sehingga fungsi sumber air tidak terganggu.


Contohnya, di daerah perbukitan terdapat beberapa mata air yang merupakan sumber air bagi masyarakat, sementara lahan di sekitar mata air tersebut akan dibangun kawasan hunian penduduk (perumahan). Sebelum dibangun jarak dari mata air ke lokasi pembangunan itu harus dilihat baik, dimana dalam Keppres No 32 Tahun 1990 disebutkan bahwa, kriteria kawasan sekitar mata air adalah sekuarang-kurangnya dengan jari-jari 200 meter di sekitar mata air. Jika jarak kurang dari 200 meter maka, pembangunan harus dihentikan karena ditakutkan akan menggangu fungsi mata air. Bukan hanya itu, sebelum melakukan pembangunan developer harus melewati tahapan perizinan pembangunan (instrumen hukum) seperti yang tertera dalam UU No 32/2009 (UU PPLH), meliputi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang kaitannya dengan RTRW setempat, Amdal, izin lingkungan, izin lokasi, hinder ordonantie (HO) atau izin gangguan, pembuangan air limbah dan IMB.
Contoh lainnya, pembangunan di kawasan perkotaan yang padat harus memperhatikan daerah resapan guna mengurangi limpasan permukaan. Jangan seluruh arealnya dipenuhi beton (hutan beton), harus ada proporsi yang seimbang antara kawasan hijau dan non hijau. Daerah resapan ini merupakan tempat meresapnya (lubang masuk) air hujan kedalam lajur freatik yang nantinya akan digunakan sebagai sumber air bawah tanah (sumur bor).
Selain itu, pemakaian air bawah tanah (ABT) sebagai sumber air di wilayah perkotaan juga harus dikendalikan, dimana pengisian (recharge) air melalui pori-pori tanah harus sebanding dengan pemakaian (penyedotan). pemakaian secara ekspolitatif harus dihindari, karena bisa berdampak pada amblesnya tanah (subsidence) akibat adanya ruang kosong (space) dalam lapisan tanah. Subsidence dapat menggangu ketahanan pondasi bangunan.
Perlindungan dan pelestarian sumber air merupakan tanggung jawab semua pihak. Sumber daya air bak dua sisi mata uang yang berbeda, di satu sisi jika kita mengelola sumber daya yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa ini dengan bijak, tentu kita mendapat manfaat yang akan dirasakan secara berkesinambungan. Sedangkan di sisi lain, jika kita salah mengelola sumber daya air tentu kita akan menuai malapetaka, seperti bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, dll. (*)

Sumber :
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air


Selasa, 22 Oktober 2013

Syarat Kualitas Air Minum

Beberapa waktu yang lalu kita pernah membahas mengenai kualitas air tanah, dimana dari segi tampilan fisik air tanah terlihat bening (kecuali air tanah di daerah rawa/gambut yang warnanya agak kekuning-kuningan sampai agak kecoklatan). Air tanah telah melalui proses purifikasi secara alamiah ketika berperkolasi ke dalam tanah, sehingga kualitasnya lebih baik dari air permukaan. Pertanyaannya, apakah air tanah yang dari segi fisik terlihat bersih (bening) dapat langsung kita minum ? Tentu tidak, harus dimasak (diolah terlebih dahulu). Air yang dari segi fisik bersih (bening), belum tentu bisa langsung diminum. Tapi air minum haruslah bersih (bening).
Next, penulis ingin bertanya kepada kalian, apakah air bersih sama dengan air minum ? Yups, tidak. Air minum adalah air yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Sedangkan air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak. Sederhananya, air yang bersih sudah memenuhi salah satu syarat untuk bisa diminum yakni tidak berwarna atau bening, tapi tidak untuk syarat lainnya, karena kemungkinan masih ada bakteri yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, air bersih harus dimasak (direbus sampai mendidih/1000C), guna membunuh bakteri yang bersifat patogen. Jika telah dimasak (diolah), maka air bersih statusnya meningkat menjadi air minum.
Air minum harus memenuhi syarat-syarat kesehatan, atau paling tidak mendekati. Adapun syarat-syarat tersebut sebagai berikut :

1. Syarat fisik
Air yang sebaiknya dipergunakan untuk minum ialah air yang tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, jernih dengan suhu sebaiknya di bawah suhu udara sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa nyaman.

2. Syarat bakteriologis
Secara teoritis semua air minum hendaknya dapat terhindar dari kemungkinan dengan bakteri didalamnya, terutama yang bersifat patogen. Namun dalam kehidupan sehari-hari, amat sukar untuk menentukan apakah air tersebut benar-benar suci hama atau tidak. Karena itulah, untuk mengukur apakah air minum bebas dari bakteri atau tidak, pegangan yang dipakai ialah E. Coli. Tergantung cara pemeriksaan yang dilakukan, jumlah E. Coli yang masih dibenarkan terdapat dalam sumber air minum bermacam-macam. Pada pemeriksaan air minum dengan memakai prosedur Membrane Filter Technque, 90% dari contoh air yang diperiksa selama 1 bulan, harus bebas dari E.Coli. Sedangkan yang mengandung E.Coli, jumlah kuman tidak boleh lebih dari 3 untuk setiap 50 cc air, tidak boleh dari 4 untuk setiap 100 cc air, tidak boleh lebih dari 7 untuk setiap 200 cc air, serta tidak boleh lebih dari 13 untuk setiap 500 cc air. Apabila terjadi penyimpangan dari ketentuan tersebut, maka air dianggap tidak memenuhi syarat dan perlu penyelidikan lebih lanjut sebelum digunakan.

3. Syarat kimia
Air minum yang baik ialah air yang tidak tercemar secara berlebihan oleh zat-zat kimia ataupun mineral, tarutama oleh zat-zat ataupun mineral yang berbahaya bagi kesehatan. Sangat diharapkan zat atau bahan kimia yang terdapat di dalam air minum, tidak sampai menimbulkan kerusakan pada tempat penyimpanan air (korosi,misalnya), sebaliknya zat ataupun bahan kimia dan atau mineral yang dibutuhkan oleh tubuh, hendaknya harus terdapat dalam kadar yang sewajarnya dalam sumber air minum tersebut.

Syarat-syarat diatas dijelaskan secara spesifik dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 416/MENKES/PER/IX/1990 Tanggal : 3 September 1990, pada bagian lampiran I. Kalian bisa lihat tabelnya dibawah ini :


So, pembahasan kita mengenai syarat air minum kira-kira demikian. Nanti kita akan bahas pokok bahasan menarik lainnya di waktu yang akan datang (*)

Sumber Pustaka
-   Bahan ajar kesehatan lingkungan dan demografi
-   Permenkes  Nomor 416 Tahun 1990 Tentang Syarat-syarat Dan Pengawasan Kualitas Air


Minggu, 20 Oktober 2013

Kualitas Air Tanah

Beberapa diantara kalian mungkin menggunakan air tanah (sumur) sebagai sumber air di rumah guna keperluan mandi, mencuci, minum, masak,dll, entah digunakan sebagai sumber air utama atau hanya sebagai sumber air alternatif dikala sumber air utama tidak berfungsi. Air tanah sendiri merupakan air hujan yang meresap ke dalam tanah dan berada dalam lajur freatik.
Apakah dari segi kualitas air tanah aman dan layak untuk dikonsumsi oleh manusia ? Jika dibandingkan dengan air permukaan, air tanah sedikit lebih jernih (murni) karena telah melalui proses penjernihan ketika berperkolasi ke dalam tanah. Air tanah biasanya bebas dari kuman penyakit dan tidak perlu dilakukan proses purifikasi atau penjernihan karena telah melalui proses filtrasi secara alamiah selama peresapannya ke dalam tanah.
Karakteristik kualitas air tanah dipengaruhi oleh gerakan ke bawah dari air pada daerah imbuhan (perkolasi) dan gerakan lateral melalui akuifernya (aliran bawah). Efektif atau tidaknya proses penjernihan itu dipengaruhi oleh kedalaman tanah diatas muka air tanah (water table), jenis tanah dan konsentrasi bahan pencemar di dalam air yang berperkolasi. Jika muka air tanahnya relatif dalam atau tanahnya kurang berpori proses penjernihan akan lebih bagus, dan imbuhan akuifernya akan terhindar dari bahan-bahan organik yang bisa menurunkan kualitas air tanah. Namun jika muka air tanahnya dangkal serta tanahnya berpori, gas-gas terlarut, nitrat, sulfat, senyawa organik yang terlarut dan garam yang terlarut dapat masuk ke dalam sistem air tanah.
Selain itu, sistem pembuangan limbah padat domestik dan industri yang apabila tidak dikelola dengan baik dapat juga masuk kedalam sistem air tanah, dimana bahan kimia dan gas-gas hasil pembusukan dengan konsentrasi tinggi akan hanyut masuk melalui pori-pori tanah dan akan sampai kedalam lajur freatik sehingga dapat menurunkan kualitas dan mutu air tanah (tercemar). Air tanah di kawasan pertanian juga sangat rawan tercemar apabila sisa pestisida (residu) masuk melalui pori-pori tanah dan meresap sampai ke dalam lajur freatik.
Bukan hanya itu, ketika berperkolasi air tanah juga melarutkan mineral yang terkandung dalam lapisan tanah dan batuan, sehingga kadar mineral dalam air tanah menjadi tinggi. Batuan yang mudah terlarut dapat menambahkan mineral terlarut secara mencolok, khususnya kalsium bikarbonat ( Ca(HCO3)2 ), magnesium bikarbonat ( Mg(HCO3)), kalsium sulfat (CaSO4), magnesium sulfat (MgSO4). Mineral-mineral ini sesungguhnya tidak berbahaya bagi kesehatan, asalkan tidak melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan seperti yang tertera dalam Permenkes Nomor 416 Tahun 1990 tentang Standar Kualitas Air Bersih dan Air Minum. (*)

Sumber Pustaka :
 -    Linsley JR. RK., et. all., 1982, Hidrologi untuk Insinyur, McGraw-Hill, Inc./ Ir. Yandy Hermawan (alih bahasa)/Penerbit Aerlangga, 1996
 -         Bahan ajar kesehatan lingkungan dan demografi


Jenis-jenis Akuifer

Seperti yang telah kalian ketahui di pembahasan sebelumnya mengenai pergerakan air tanah, bahwa formasi geologis yang mengandung air dan memindahkannya dari satu titik ke titik lain dalam jumlah yang mencukupi untuk pengembangan ekonomi (kuantitasnya mencukupi) disebut dengan lapisan pembawa air atau akuifer. Formasi ini bersifat permeable, baik yang terkonsolidasi (lempung, misalnya) maupun yang tidak terkonsolidasi (pasir) dengan kondisi jenuh air dan mempunyai satuan besaran konduktivitas hidraulik (K) sehingga dapat membawa air.
Nah, kali ini kita akan melihat atau mempelajari jenis-jenis akuifer. Pengertian dari masing-masing jenis akuifer tertera sebagai berikut :
a        Akuifer tertekan/terbatas (confined aquifer) adalah akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas dan bawahnya merupakan akuiklud (kedap air) dan tekanan airnya lebih besar dari tekanan atmosfir. Pada lapisan pembatasnya tidak ada air yang mengalir (no flux).
b        Akuifer semi tertekan (semi confined/leaky akuifer) adalah akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan yang berupa aquitard (semi kedap air) dan lapisan bawahnya merupakan akuiklud. Pada lapisan pembatas di bagian atasnya karena bersifat aquitard masih ada air yang mengalir ke akuifer tersebut (influx), walaupun hidraulik konduktivitasnya jauh lebih kecil dibandingkan hidraulik konduktivitas akuifer. Tekanan airnya pada akuifer lebih besar dari tekanan atmosfir.


c       Akuifer semi tertekan (semi confined/leaky akuifer) adalah akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan yang berupa aquitard (semi kedap air) dan lapisan bawahnya merupakan akuiklud. Pada lapisan pembatas di bagian atasnya karena bersifat aquitard masih ada air yang mengalir ke akuifer tersebut (influx) walaupun hidraulik konduktivitasnya jauh lebih kecil dibandingkan hidraulik konduktivitas akuifer. Tekanan airnya pada akuifer lebih besar dari tekanan atmosfir.
d        Akuifer tak tertekan (unconfined aquifer) adalah akuifer jenuh air (saturated). Lapisan pembatas di bagian bawahnya merupakan akuiklud. Pada bagian atasnya ada lapisan pembatas yang mempunyai konduktivitas hidraulik lebih kecil dari pada konduktivitas hidraulik dari akuifer. Akuifer ini juga mempunyai muka air tanah yang terletak pada lapisan pembatas tersebut. 


e  Akuifer arteis (artesian aquifer) adalah confined aquifer di mana ketinggian hidrauliknya (potentiometric surface) lebih tinggi dari muka tanah. Oleh karena itu, apabila pada ukuifer ini dilakukan pengeboran maka akan timbul pancaran air (spring), karena air yang keluar dari pengeboran ini berusaha mencapai ketinggian hidraulik tersebut.


So, pembahasan kita kali ini mengenai jenis-jenis akuifer kira-kira demikian. Nanti kita akan bahas topik menarik lainnya di waktu dan kesempatan yang akan datang (*)

Sumber Pustaka :
Kondoatie RJ & Sjarief Roestam.,2008, Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, Penerbit ANDI, Yogyakarta



Minggu, 06 Oktober 2013

Persamaan-persamaan Dasar dalam Fluida Bergerak (Part VI/Habis)

 Kehilangan Energi dan Tinggi Tekan

Bro and sist, di pembahasan sebelumnya penulis telah membahas mengenai persamaan kontinuitas, momentum, bernoulli, persamaan energi (euler), dan juga hubungan antara persamaan energi dan hukum termodinamika dan kali ini kita akan lanjut membahas kehilangan energi dan tinggi tekan.
Seperti yang kalian telah ketahui, viskositas adalah sifat fluida yang menyebapkan tegangan geser di dalam fluida yang bergerak. Viskositas juga merupakan situasi dimana ketakmampubalikan atau kerugian berkembang.

HGL dan EGL
Suatu zat cair yang mengalir dalam suatu bidang batas seperti melalui pipa akan mengalami tegangan geser dan kemiringan kecepatan (gradien kecepatan) pada seluruh medan aliran akibat kekekantalan. Tegangan geser tersebut akan mengakibatkan kehilangan energi selama pengaliran. Kehilangan energi ini disebut dengan kehilangan energi primer yang ditulis dengan hf.
Bagaimana bisa kita mengetahui satu titik dengan titik lainnya (pipa) terjadi kehilangan energi dan tekanan, caranya yakni dibantu dengan garis khayal HGL (hydraulic grade line) dan EGL (energy grade line). Garis kemiringan hidraulik (garis kemiringan tekanan) atau HGL adalah garis yang menunjukan tinggi tekanan (pressure head) sepanjang pipa. Di dalam pipa dengan penampang seragam, tinggi kecepatan adalah konstan dan garis kemiringan enersi adalah sejajar dengan garis kemiringan tekanan (EGL // HGL).  Sedangkan garis gradien energi (EGL) adalah garis yang menghubungkan sederetan titik-titik yang menggambarkan energi tersedia untuk tiap titik sepanjang pipa sebagai ordinat, yang digambar terhadap jarak sepanjang pipa sebagai absis.
Kalian bisa lihat garis HGL dan EGL pada penampang pipa 1 dan 2 di bawah ini yang merupakan persamaan Bernoulli yang memperhitungkan kehilangan  energi (hf) :


















Dalam aliran takmampumampat stedi (ajeg) di dalam pipa, ketakmampubalikan dinyatakan dalam kerugian tinggi-tekan atau jatuh (droop) pada garis gradien hidrolik. Kerugian atau ketakmampubalikan menyebapkan garis ini menurun dalam arah aliran. Untuk perhitungan aliran dalam pipa umumnya dipakai persamaan Darcy-Weisbach ;


hf ialah kerugian tinggi-tekan, atau jatuh garis gradien hidrolik, dalam panjang pipa L, yang mempunyai garis tengah dalam D dan kecepatan rata-rata V, sedangkan f merupakan faktor gesekan (tanpa dimensi).

Tinggi tekan karena penyempitan dan pembesaran mendadak

Kerugian tinggi tekan sebanding dengan kuadrat kecepatan. Jika pembesaran mendadak tersebut adalah dari pipa ke reservoar, D1/D2 = 0 dan kerugiannya menjadi V21, dimana seluruh energi kinetik dalam aliran diubah menjadi energi panas. Kerugian tinggi tekan yang disebapkan oleh pembesaran mendadak  (termasuk gesekan pipa sepanjang pembesaran), telah diteliti oleh Gibson dan rumusannya sebagai berikut :
Cc itu merupakan koefisien penyempitan, untuk air telah ditentukan oleh Weisbach.


Untuk kerugian tinggi tekan dalam pipa dapat disimpulkan sebagai berikut :
1        Kerugian tinggi-tekan berbanding lurus dengan panjang pipa.
2        Kerugian tinggi-tekan hampir sebanding dengan kuadrat kecepatan.
3        Kerugian tinggi-tekan hampir berbanding terbalik dengan garis tengah.
4        Kerugian tinggi-tekan bergantung pada kekasaran permukaan dinding pipa sebelah dalam.
5        Kerugian tinggi-tekan bergantung pada sifat-sifat fluida kerapatan dan viskositas.
6        Kerugian tinggi-tekan tidak bergantung pada tekanan.

Well, pembahasan kita tentang kehilangan energi dan tinggi tekan kira-kira seperti itu. Pembahasan kita kali ini merupakan pokok bahasan terakhir tentang persamaan-persamaan dasar dalam fluida bergerak. Persamaan-persamaan dasar yang dibahas dalam blog ini hanya secara garis besar mengingat ruang di blog yang terbatas. Selanjutnya, kalian bisa cari dan baca buku-buku yang terkait dengan pokok bahasan kita seperti mekanika fluida, hidraulika, drainase ataupun buku-buku yang terkait dengan sumber daya air supaya bisa lebih paham (*)

SUMBER PUSTAKA
1. Streeter L.V dan Wylie E.B., Mekanika Fluida Jilid I & II, McGraw-Hill,Inc.,1985.
2. Buku Ajar Hidraulika